Sebagian
orang berpandangan bahwa di antara ciri khas seorang ahli sunah adalah alergi
dengan shalat tarawih 23 rakaat secara mutlak. Ini adalah anggapan yang tidak
benar. Memang benar, kita tentu sangat tidak setuju jika shalat tarawih 23
rakaat dilakukan dengan ngebut.
Perlu
diketahui bahwa sebagian ulama ahli sunnah menilai bahwa riwayat shalat tarawih
di masa Umar itu 23 rakaat adalah riwayat yang valid. Di antara mereka
adalah imam ahli sunah di zaman ini yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, maka shalat tarawih 23 rakaat adalah sunah
sahabat dan sunah khulafaur rasyidin.
Andaipun
riwayat ini lemah, bukan berarti shalat tarawih lebih dari 11 rakaat itu
terlarang karena shalat tarawih adalah bagian dari shalat malam sedangkan
shalat malam itu tidak memiliki batas maksimal sebagaimana dalam hadits Ibnu
Umar yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim.
Oleh karena
di antara anggapan yang kurang tepat adalah kesimpulan sebagian orang bahwa
jika riwayat Umar tentang Shalat Tarawih 23 rakaat adalah riwayat yang lemah
maka berarti maksimal shalat Tarawih adalah 11 atau 13 rakaat.
Berikut ini
adalah penjelasan Syaikh Ibnu Baz tentang masalah ini:
“Di antara
hal yang hukumnya tidak diketahui oleh sebagian orang adalah anggapan sebagian
orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh kurang dari 20 rakaat.
Demikian
pula anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh lebih dari 11
atau 13 rakaat. Kedua anggapan ini adalah anggapan yang tidak pada tempatnya
bahkan keduanya adalah anggapan yang menyelisihi banyak dalil.
Terdapat
banyak hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menunjukkan bahwa bilangan rakaat shalat malam itu longgar, tidak ada
batasan baku yang tidak boleh dilanggar.
Bahkan
terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau shalat malam sebanyak 11 rakaat dan terkadang 13 rakaat. Terkadang
pula beliau shalat malam kurang dari 11 rakaat ketika Ramadhan atau pun di luar
Ramadhan.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
tentang shalat malam, beliau mengatakan, “Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat
salam. Jika kalian khawatir waktu subuh tiba maka hendaknya dia shalat sebanyak
satu rakaat sebagai witir untuk shalat malam yang telah dia kerjakan” (HR
Bukhari dan Muslim).
Jadi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menentukan jumlah rakaat tertentu untuk shalat
malam di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
Oleh karena
itu para sahabat di masa Umar terkadang shalat tarawih sebanyak 23 rakaat dan
terkadang sebanyak 11 rakaat.
Kedua
riwayat tersebut adalah riwayat yang sahih dari Umar dan para sahabat di masa
Umar.
Sebagian
salaf ketika bulan Ramadhan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat terus ditambah
witir 3 rakaat.
Sebagian
salaf yang lain shalat tarawih sebanyak 41 rakaat.
Kedua
riwayat di atas disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para ulama
selainnya.
Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa permasalahan bilangan shalat
malam adalah permasalahan yang ada kelonggaran di dalamnya. Ibnu
Taimiyyah juga menyebutkan bahwa yang paling afdhol bagi orang yang
mampu untuk berdiri, ruku dan sujud dalam waktu yang lama adalah mempersedikit
jumlah rakaat yang dia lakukan. Sedangkan orang yang berdiri, ruku dan sujudnya
tidak lama hendaknya memperbanyak jumlah rakaat yang dikerjakan. Inilah inti
dari perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini.
Siapa saja
yang merenungkan dengan baik sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentu dia akan berkesimpulan bahwa bilangan rakaat shalat malam yang terbaik
adalah 11 rakaat atau 13 rakaat baik di bulan Ramadhan ataupun di luar
Ramadhan.
Ada dua alasan untuk kesimpulan di atas:
Pertama, itulah yang sesuai dengan
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mayoritas shalat
malam yang beliau kerjakan
Kedua, itulah yang lebih mudah bagi
banyak orang sehingga orang-orang yang melakukannya bisa lebih khusyu’ dan
tenang ketika mengerjakan shalat. Sedangkan orang yang ingin lebih dari 11 atau
13 rakaat maka hukumnya adalah mubah dan tidak makruh sebagai penjelasan di
atas”.
Sumber: Majmu Fatawa wa Maqalat
Mutanawi’ah jilid 15 hal 18-19, terbitan Dar Ashda’ al Mujtama’ cetakan ketiga
1428 H.
Artikel www.ustadzaris.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar