Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat.
Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa
nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad,
Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar
hadits dan pendapat Ibnu Hazm.[1]
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ
صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki
kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[2]
Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[3].
Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya
disunnahkan.[4]
Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى
مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ – قَالَ
– فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku
telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam
riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus
mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.”[5]
Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum
sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar. Jadi keumuman
pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di
dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis
(pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada.
Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil. Ibnu Hajar mengatakan,
“Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan
hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa
nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”[6]
Boleh beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa
ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan
satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut
dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai
dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.[7]
Rincian Qodho’ Puasa bagi Orang yang Meninggal Dunia
Pertama: Jika seseorang tertimpa sakit yang tidak kunjung sembuh, maka ia tidak
ada kewajiban puasa dan tidak ada qodho’ puasa. Yang ia lakukan hanyalah
mengeluarkan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ia tinggalkan. Ia boleh jadi melakukannya ketika ia hidup. Jika memang
belum ditunaikan, ahli waris yang nanti menunaikannya ketika ia telah meninggal
dunia.
Kedua: Adapun jika seseorang tertimpa sakit yang diharapkan sembuhnya, maka ia
tidak ada kewajiban puasa di bulan Ramadhan karena sakit yang ia derita, namun
ia punya kewajiban untuk qodho’ puasa. Jika ternyata ia tidak mampu menunaikan
qodho’ karena sakitnya terus menerus hingga akhirnya meninggal dunia, maka ia
tidak punya kewajiban qodho’ puasa dan juga tidak ada kewajiban mengeluarkan
fidyah. Ahli warisnya pun tidak diperintahkan untuk membayar qodho’ puasanya
dan juga tidak diperintahkan mengeluarkan fidyah.[8]
Al ‘Azhim Abadi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa jika
seseorang tidak puasa karena alasan sakit dan safar, lalu ia tidak meremehkan
dalam penunaian qodho’ hingga ia mati, maka ia tidak ada kewajiban qodho’ dan
juga tidak ada kewajiban fidyah (memberikan makan pada orang miskin).”[9]
Ketiga: Adapun jika seseorang itu sakit dan penyakitnya bisa diharapkan sembuh
dan setelah sembuh ia mampu untuk menunaikan qodho’nya, namun ia meremehkan
sehingga qodho’ tersebut tidak ditunaikan sampai ia meninggal dunia; maka orang
semacam ini yang disunnahkan untuk dibayar qodho’ puasanya selama beberapa hari
oleh ahli warisnya. Jika ahli waris tidak membayar qodho’nya, maka bisa
digantikan dengan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) bagi setiap hari
yang ditinggalkan.[10]
Dari penjelasan ini, maka maksud hadits, “Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang
nanti akan mempuasakannya” adalah barangsiapa yang tidak puasa karena udzur
(seperti haidh, safar atau sakit yang bisa diharapkan sembuhnya), lantas ia pun
mampu menunaikan qodho’ puasanya namun ia tidak melakukannya, maka disunnahkan
bagi ahli warisnya untuk melunasi utang puasanya.
Semoga sajian ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/130-133.
[2]
HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
[3]
Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712 dan Asy Syarhul Mumthi’, 3/93.
[4]
Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26.
[5]
HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148
[6]
Fathul Bari, 4/193.
[7]
Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712
[8]
Contoh dari penjelasan ini adalah seseorang sakit demam mulai tanggal 20
Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan. Berarti ia punya qodho’ puasa selama 11
hari. Ketika tanggal 1 Syawal, penyakitnya sembuh. Lantas ia ingin mengqodho’
puasa tadi, keesokan harinya. Namun ternyata keesokan harinya ia jatuh sakit
lagi dan penyakitnya bertambah parah sehingga tanggal 5 Syawal, ia meninggal dunia.
Maka orang semacam ini tidak punya kewajiban qodho’ sama sekali dan juga tidak
ada fidyah. Ia seperti halnya orang yang meninggal dunia sebelum masuk
Ramadhan, artinya ia meninggal dunia sebelum waktu diwajibkannya puasa.
[9]
‘Aunul Ma’bud, 7/26.
[10]
Penjelasan Syaikh Sholih Al Munajid dalam Fatawanya Al Islam Sual wa Jawab
no. 81030. Lihat pula Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar