Siapakah
orang yang paling kaya di dunia saat ini?
“Yang punya
perusahaan Microsoft; Bill Gates!” Mungkin inilah jawaban yang terlontar,
andaikan salah seorang dari kita dihadapkan pada pertanyaan di atas. Atau bisa
jadi jawabannya, “Pemain bola anu!” atau “Artis itu!”
Berbagai
jawaban di atas barangkali akan sangat dianggap wajar karena barometer kekayaan
di benak kebanyakan orang saat ini diukur dengan kekayaan harta duniawi.
Padahal, jika menggunakan barometer syariat, bukan merupakan hal yang mustahil
bahwa kita pun amat berpeluang untuk menjadi kandidat orang paling “kaya”!
Orang paling
kaya di mata syariat
Orang paling
kaya, jika diukur dengan timbangan syariat, adalah: orang yang paling nrimo.
Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan,
“Kekayaan
tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah
kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim; dari Abu Hurairah)
Kaya hati,
atau sering diistilahkan dengan “qana’ah“, artinya adalah ‘nrimo
(menerima) dan rela dengan berapa pun yang diberikan oleh Allah Ta’ala.
Berapa pun rezeki
yang didapatkan, dia tidak mengeluh. Mendapat rezeki banyak, bersyukur;
mendapat rezeki sedikit, bersabar dan tidak mengumpat.
Andaikan
kita telah bisa mengamalkan hal di atas, saat itulah kita bisa memiliki kans
besar untuk menjadi orang terkaya di dunia. Ujung-ujungnya, keberuntunganlah
yang menanti kita, sebagaimana janji Sang Musthafa shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
“Beruntunglah
orang yang berislam, dikaruniai rezeki yang cukup, dan dia dijadikan menerima
apa pun yang dikaruniakan Allah (kepadanya).” (HR. Muslim; dari Abdullah
bin ‘Amr)
Berdasarkan
barometer di atas, bisa jadi orang yang berpenghasilan dua puluh ribu sehari
dikategorikan orang kaya, sedangkan orang yang berpenghasilan dua puluh juta
sehari dikategorikan orang miskin. Pasalnya, orang pertama merasa cukup dengan
uang sedikit yang didapatkannya. Adapun orang kedua, dia terus merasa kurang
walaupun uang yang didapatkannya sangat banyak.
Bagaimana
mungkin orang yang berpenghasilan dua puluh ribu dianggap berkecukupan, padahal
ia harus menafkahi istri dan anak-anaknya?
Ya, selain
karena keberkahan yang Allah limpahkan dalam hartanya, juga karena ukuran
kecukupan menurut Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai
berikut,
“Barangsiapa
yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan
memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia
seisinya.” (HR. Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani)
Kiat
membangun pribadi yang qana’ah
Di antara
resep sukses membentuk jiwa yang qana’ah adalah dengan melatih diri untuk
menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di tangan Allah dan yang kita
dapatkan telah dicatat oleh Allah Ta’ala, serta tidak mungkin melebihi
apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.
Allah Ta’ala
mengingatkan,
“Tidak
ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin
rezekinya oleh Allah.” (QS. Hud:6)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menasihatkan,
“Sesungguhnya,
seseorang di antara kalian tidak akan mati kecuali setelah dia mendapatkan
seluruh rezeki (yang Allah takdirkan untuknya) secara sempurna. Maka, janganlah
kalian bersikap tidak sabaran dalam menanti rezeki. Bertakwalah kepada
Allah, wahai manusia! Carilah rezeki secara proporsional, ambillah yang halal
dan tinggalkan yang haram.” (HR. Al-Hakim; dari Jabir; dinilai sahih oleh
Al-Albani)
Buah manis qana’ah
Sebagai
suatu karakter yang terpuji, qana’ah tentunya menumbuhkan sifat-sifat positif
lainnya, yang tidak lain adalah buah dari qana’ah itu sendiri. Di
antaranya:
Pertama: Qana’ah menjadikan seseorang
tidak mudah tergiur untuk memiliki harta yang dimiliki orang lain.
Dia merasa
cukup dengan apa yang telah dimilikinya, sehingga dia selalu hidup dalam
ketenteraman dan kedamaian batin. Dia tidak pernah iri maupun dengki dengan
kelebihan nikmat yang Allah limpahkan pada orang lain.
Karakter
istimewa inilah yang Allah rekam sebagai salah satu perangai para sahabat Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Dia menceritakan kondisi mereka
yang fakir,
“(Orang
lain)–yang tidak tahu–menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena
mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad), mengenal
mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada
orang lain.” (QS. Al-Baqarah:273)
Kedua: Qana’ah menempa jiwa seseorang untuk tidak
mengadu tentang kesusahan hidupnya melainkan hanya kepada Allah Yang Mahakaya.
Inilah salah
satu tingkatan tawakal tertinggi, yang telah dicapai oleh para nabiyullah.
Sebagaimana yang Allah ceritakan tentang Nabi Ya’kub ‘alaihis salam,
“Dia
(Ya’kub) berkata, ‘Hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan
kesedihanku.’” (QS. Yusuf:86)
Mengapa para
kekasih Allah hanya mengadu kepada-Nya? Karena keyakinan mereka yang begitu
mendalam bahwa dunia seisinya tidak lain hanyalah kepunyaan Allah. Lantas
mengapa tidak meminta saja kepada Yang Maha Memiliki segalanya, dan kenapa
harus meminta kepada zat yang apa yang dimilikinya tidak lain hanyalah
bersumber dari Yang Maha Memiliki?
Namun,
realita berkata lain. Rata-rata, kita masih lebih suka mengetuk pintu para
makhluk sebelum mengetuk pintu Sang Khalik. Karena itulah, para ulama
mengingatkan, “Siapakah di antara kita yang meminta kebutuhannya kepada Allah
sebelum ia memintanya kepada manusia?”
Qana’ah
berarti tidak bekerja dan ikhtiar?
Janganlah
dipahami dari seluruh keterangan di atas, bahwa kita tidak perlu bekerja dengan
alasan qana’ah. Sehingga, cukup duduk berpangku-tangan di rumah, dengan
dalih: kalaupun sudah saatnya hujan emas, niscaya akan turun juga!
Qana’ah tidaklah seperti itu, karena qana’ah
maksudnya: seorang hamba bekerja semampunya dengan tetap memperhatikan
rambu-rambu syariat. Setelah itu, berapa pun hasil yang didapatkan dari
kerjanya, diterimanya dengan penuh rasa ridha tanpa menggerutu.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan hakikat tawakal dan korelasinya dengan
ikhtiar, dalam sebuah perumpamaan yang sangat detail,
“Andaikan
kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya kalian akan mendapatkan
rezeki sebagaimana burung memperoleh rezeki. Dia pergi di pagi hari dalam
keadaan perut kosong, lalu pulang di sore harinya dalam keadaan perut kenyang.”
(HR. Tirmidzi, dan beliau berkomentar bahwa hadis ini hasan sahih)
Ya, tentunya
supaya burung bisa memenuhi perutnya, ia harus “mencari nafkah”! Dan inilah
tawakal yang sebenar-benarnya; berikhtiar lalu hasilnya serahkan pada Allah
ta’ala.
Wallahu a’la
wa a’lam…
Kedungwuluh,
Purbalingga, 7 Ramadhan 1430/28 Agustus 2009
Penulis: Ustadz
Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Artikel www.tunasilmu.com,
dipublish ulang oleh www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar