PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA
Secara
bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal
dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam
kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari.
Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji
Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal?
Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan
apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang
menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan
“halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum,
para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa
makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk
ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi
halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan
setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat
(auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas
Indonesia” [1]
Penulis Iwan
Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul
sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling
bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal.
Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri [2].
Kadang-kadang,
acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam
bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Konon,
tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8
Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat
waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan
pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di
balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem
kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu
kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal.
Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal,
yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama [3]
Halal bi
halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di
kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal
bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam
di tengah masyarakat Indonesia [4].
Namun dalam
kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin
jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan
keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng
kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal
bi halal menurut pandangan syariat.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal
bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga
umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan
tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.
HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL
(TAUQIFI)
Hukum asal
dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram (dilakukan) sampai ada
dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal
sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya
lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian,
dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi (harus
berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki
sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.
Sesungguhnya
adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi
dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya
[5]
Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :
1.
Tauqifi dari
sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan hal ini berdasarkan
wahyu.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya
memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya :
Apakah dua hari ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari
ini semasa jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya
dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu
Dawud no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6]
Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak
dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat
Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak
memiliki landasan syar’i.
2.
Tauqifi dari
sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar
adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap
ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih
dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya
berupa keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira
juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariat. [8]
PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL
Di satu
sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak
memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana
menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa
yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk perkara ini kepadaadat dan tradisi
masing-masing.
Jadi, boleh
saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling berkunjung dan
mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota
keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga mereka tidak
tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya dalam
Islam.[9]
Namun
mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil
tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang
memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang
membutuhkan dalil.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah melakukannya,
padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka.
Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang
yang paling bersemangat untuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang
lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari
tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi,
mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan syariat baru
dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata:
Maka setiap
perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah
kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa
diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan. [10]
KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN
MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI RAYA
Karena tidak
dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak
banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal secara khusus. Namun ada
masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bi halal dan
sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat
tangan atau bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di
hari raya.
Berjabat
tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits berikut:
Dari al-Bara
(bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan
keduanya sudah diampuni sebelum berpisah” [HR Abu Dawud no. 5212 dan
at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh al-Albani] [11]
Tapi ketika
sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang
dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya berubah ; karena
pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru dalam agama.
Disamping
itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang menomorduakan amalan
sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. [12]
Ibnu
Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab :
Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu
a’lam. [13]
Lebih jelas
lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur di hari raya
termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah kubur juga merupakan amalan yang pada
dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut:
Dari
Buraidah (al-Aslami) ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, maka
sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR Ashabus Sunnan, dan
lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh Syu’aib
al-Arnauth]
Demikian
pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun
ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang
terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela. Wallahu
a’lam.
BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL
Di samping
tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering didapati
beberapa pelanggaran syariat, di antaranya:
1.
Mengakhirkan
permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika melakukan kesalahan atau
kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fithri untuk meminta
maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan
adalah urusan hari lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa
yang “wajib”. pada hari raya Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup
sampai Idul Fithri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman
yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa
melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan
(dimaafkan) darinya ; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar
dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak
punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan
kepadanya. [HR al-Bukhari no. 6169]
2.
Ikhtilath
(campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti
pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:
Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria
bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para
wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan,
berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju
mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju mereka dengan
dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani] [15]
3.
Berjabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh
banyak orang dalam cara halal bihalal atau kehidupan sehari-hari, padahal
keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut:
Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu
‘anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh
jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu
lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR
ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani] [16]
Syaikh al-Albani rahimahullah
berkata : “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal
baginya yang terkandung dalam hadits ini menunjukkan haramnya menjabat tangan
wanita (yang bukan mahram, ed) karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat
tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini,
bahkan sebagian ulama” [17]
PENUTUP
Dari paparan
diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam halal bi
halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan
acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas tidak memilki
landasan dalil syar’i. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak
diadakan untuk menyambut Idul Fithri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka
pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi
kegembiraan yang disyariatan Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat
dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika terlepas dari
pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita sebutkan diatas.
Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah (saling mengucapkan
selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari
Ulama.
Bagi yang
mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”, ingatlah bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap perkara baru dalam agama sebagai
syarrul umur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya?
Setiap Muslim haris berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang muncul
belakangan. Mari, amalkan sunnah dan Islam yang murni, karena itulah wasiat
Nabi tercinta Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu
a’lam
Oleh:
Ustadz Anas
Burhanuddin MA
REFERENSI:
1.
Al-A’yad wa
Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi, Universitas Islam Madinah.
2.
Iqtidha’
ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul Ashimah.
3.
Mi’yarul
Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi.
4.
Risalatun
fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim
5.
http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun
XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Footnote
[1].
http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[2]. Ibid
[3]. Ibid
[4]. Ibid
[5].
Al-I’tisham 2/98
[6]. Shahih
Sunan Abi Dawud 4/297
[7]. Iqtidha
ash-Shirath al-Mustaqim 1/499
[8]. Lihat
Mi’yarul Bid’ah hlm.262
[9]. Lihat
Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6
[10]. Ibid.
2/101
[11].
As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525
[12]. Fatawa
Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141
[13]. Majmu
Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339
[14].
Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247
[15].
As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856
[16]. Lihat
Ghayatul Maram 1/137
[17]. Majmu
Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar