Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Berikut
adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun
‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga
bermanfaat.
Menurut
pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim,
baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini
adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied
(Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak
dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun
beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat
shalat.“[2]
Di antara
alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy
Syaukani).[3]
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat
‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan
shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan
wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika
wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang
menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,
“Dirikanlah
shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini
adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.
Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi
orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu
pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang
wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied.
–Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan
bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada
yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang
saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah
(dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu
beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali,
-pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat
‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang
meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang
terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan
bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum
pria?”[4]
Waktu
Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Menurut mayoritas
ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari
matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke
barat).[6]
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan
shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar
yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan
mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat
segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur
bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat
fithri.[8]
Tempat
Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat
pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang,
kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
“Rasulullah
shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul
Adha menuju tanah lapang.“[9]
An Nawawi
mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang
menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini
lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang
dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah,
maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil
Haram.”[10]
Tuntunan
Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum
berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang
menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]
Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian
yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat
‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari
‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan
beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan
lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil
qurbannya.”[13]
Hikmah
dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak
disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul
Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban
bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]
Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak
shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri,
lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak
dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari
bertakbir.”[15]
Dari Ibnu
‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas,
‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid
bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil
(laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]
Tata cara
takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1]
Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan)
bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]
[2] Di
antara lafazh takbir adalah,
“Allahu
akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa
lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan
bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]
Syaikhul
Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar,
Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil
untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu
‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan
adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai
harum-haruman.
Sedangkan
dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah
ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
“Iya, aku
menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk
sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang
yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang
berbeda ketika berangkat dan pulang.“[21]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke
tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu
‘Umar, beliau mengatakan,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki,
begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]
Tidak Ada
Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul
Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak
mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]
Tidak Ada
Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied
Dari Jabir
bin Samuroh, ia berkata,
“Aku pernah
melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada
adzan maupun iqomah.”[24]
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat
shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga
ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.”
Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]
Tata Cara
Shalat ‘Ied
Jumlah
raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata
caranya adalah sebagai berikut.[26]
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom,
sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir
zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum
memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir
tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan,
“Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir
zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada
sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir,
hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28]
Syaikhul Islam
mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
“Subhanallah
wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war
hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang
benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah
aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini
saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada
Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah,
dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar
pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan
pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun
menjawab,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat
Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]
Boleh juga
membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at
kedua.
Dan jika
hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada
raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied
maupun shalat Jum’at.
Dari An
Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma
robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah”
(surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika
hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di
masing-masing shalat.[30]
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian
melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk
mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir
zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud-
sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah
dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga
salam.
Khutbah
Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu
‘Umar, ia mengatakan,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat
‘ied sebelum khutbah.”[31]
Setelah
melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan
sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai
mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan
alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan bacaan
takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah
khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai
khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]
Jama’ah
boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As
Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
“Aku saat
ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah,
silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]
Ucapan
Selamat Hari Raya
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah)
ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika
berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu
‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa
sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga
memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan
lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului
mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang
mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya“. Imam Ahmad melakukan
semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai
mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya
beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin
mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa
yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
Bila Hari
‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Bila hari
‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat
‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam
masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang
punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang
tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama
Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu
‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair.
Dalil dari
hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi
Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan
dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
“Apakah
engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari
Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi,
“Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan
memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan
melaksanakannya.”[36]
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az
Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama
kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair
tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di
Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair
pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan
sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas
sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi
perkataan Nabi.[38]
Diceritakan
pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu
Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair.
Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah
menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak
diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka
ini.[39]
Catatan:
Dianjurkan
bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin
menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil
dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma
robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin
Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at,
beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam
dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan
hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan
oleh imam masjid.
Siapa saja
yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria
maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at)
sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]
Demikian
beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha.
Semoga bermanfaat.
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan
di Pangukan, Sleman, di hari yang baik untuk beramal sholih, 7 Dzulhijah 1430
H.
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Bughyatul
Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul,
hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[2] HR.
Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami
sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/202,
Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’
Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183, Darul Wafa’, cetakan
ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud,
kira-kira 2o menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Hadits Al Arba’in An Nawawiyah
yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul
Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar
Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq: Syu'aib Al Arnauth dan 'Abdul
Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul
Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal. 201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR.
Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh
Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul
Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul
Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR.
Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/602.
[15]
Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16]
Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’
Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/220, Darul Wafa’, cetakan
ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR.
Bukhari no. 977.
[21] HR.
Bukhari no. 986.
[22] HR.
Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] HR.
Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR.
Muslim no. 887.
[25] Zaadul
Ma’ad, 1/425.
[26] Kami
sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28]
Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid
mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul ‘Idain,
Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al Islamiy,
cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR.
Muslim no. 891
[30] HR.
Muslim no. 878.
[31] HR.
Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat
keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, 1/425. Yang pertama
kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied adalah Marwan bin Al
Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu
Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[36] HR. Abu
Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror
(1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An
Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid
(antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash
Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam
Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara
shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah
(49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan
sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu
Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR.
Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa
Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan
kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar