Berpuasa Ketika Safar/Bepergian
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha bahwasanya Hamzah bin ‘Amr Al Aslami pernah bertanya kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Apakah saya boleh berpuasa sewaktu safar ? (Beliau adalah orang yang banyak berpuasa) Nabi menjawab, “Jika kamu mau berpuasalah, dan jika kamu mau maka berbukalah.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1943, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1121, Malik dalam kitab Shiyaam I/295, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/9, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1662, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2042)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
2. Boleh memilih
antara puasa atau berbuka bagi orang yang punya kekuatan untuk berpuasa, yang
dimaksud dalam hadits ini adalah puasa Romadhon sebagaimana dijelaskan dalam
riwayat lain yang dibawakan oleh Imam Abu Dawud dan Al Haakim (lihat Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal.
368-369).
Dari Anas bin Maalik rodhiyallohu ‘anhu beliau mengatakan: “Dahulu kami pernah bersafar bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka (juga) tidak mencela orang yang berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1947, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1118, Maalik dalam Al Muwaththo’ kitab Shiyaam I/295, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2405)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Bolehnya berbuka
ketika safar.
2. Nabi
mentaqrir (mendiamkan) perbuatan para sahabat yang berpuasa dan yang berbuka
dalam kondisi safar, ini menunjukkan keduanya boleh dikerjakan (lihat Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal. 370)
Dari Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: “Kami pernah bepergian bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pada bulan Romadhon dalam keadaan udara yang sangat panas, sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat, di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Abdulloh bin Rowahah.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1945, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1122, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2409 dan Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1663)
Bukan Termasuk Kebaikan Berpuasa Ketika Safar (?)
Dari Jaabir bin Abdulloh rodhiyallohu’anhu beliau berkata: Dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar, maka beliaupun melihat segerombolan orang dengan seorang lelaki yang diberi naungan di atasnya, maka beliaupun bertanya, “Apa ini ?” Mereka menjawab, “Orang yang sedang berpuasa.” Beliau bersabda, “Berpuasa di saat safar bukan termasuk kebaikan.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1946, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1115, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2407, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/175, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/9, Ahmad dalam Musnad-nya III/299, 317, 319, 399)
Dan dalam satu lafazh Muslim, “Ambillah rukhshoh dari Alloh yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1115).
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Bolehnya
berpuasa ketika safar dan bolehnya mengambil rukhshoh yaitu dengan berbuka.
2. Berpuasa di
waktu bersafar bukan kebaikan tetapi tetap sah dan sekedar menggugurkan
kewajiban.
3. Yang lebih
utama adalah mengambil rukhshoh dari Alloh yang telah ditetapkan-Nya untuk
meringankan hamba-hamba-Nya lihat (Taisirul
‘Allaam Juz 1 hal. 371).
Meraih Pahala Lebih Dengan Berbuka
Dari Anas bin Maalik rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Dahulu kami bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan/safar di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Anas berkata: Kemudian kamipun singgah di suatu tempat dalam suasana siang yang begitu terik. Orang yang memiliki kain dialah yang bisa berteduh lebih baik, dan di antara kami ada yang melindungi (kepalanya) dari teriknya panas matahari hanya dengan tangan. Anas berkata: Maka para sahabat yang berpuasa menjadi lemah sedangkan para sahabat yang berbuka tetap dapat bekerja sehingga mereka dapat mendirikan tenda dan memberi minum binatang kendaraan. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang berbuka berangkat dengan mendapatkan ganjaran pahala.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Jihad no. 2890, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1119)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Boleh berbuka
atau tetap puasa ketika bersafar, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari
kedua kelompok sahabat dalam kondisinya masing-masing.
2. Keadaan
duniawi para sahabat rodhiyallohu ‘anhum ketika itu yang cukup memprihatinkan,
meskipun demikian hal itu tidak menghalangi mereka untuk menghadapi berbagai
kesulitan dalam berjihad di jalan Alloh Ta’ala.
3. Keutamaan
membantu saudara dan sanak keluarga, dan itu merupakan bagian dari agama dan
sikap ksatria yang telah diterapkan lebih dahulu oleh generasi terbaik ummat
ini, amat berbeda dengan perilaku kebanyakan orang yang sok tinggi lagi
menyombongkan diri.
4. Berbuka
ketika safar lebih utama, apalagi jika dibarengi dengan munculnya kemaslahatan
berupa memperkuat diri demi menghadapi musuh atau semacamnya. Karena dalam
kondisi seperti itu manfaat hanya bisa dipetik oleh orang yang puasa, sedangkan
orang yang berbuka dapat memberikan manfaat lebih kepada orang lain. Dari sisi
inilah alasan kenapa berbuka itu lebih utama.
5. Islam
mendorong manusia agar giat bekerja dan meninggalkan kemalasan. Islam
memberikan bagian pahala yang besar bagi orang yang giat bekerja serta
mengutamakan dirinya daripada orang yang terputus dari kegiatannya dengan
alasan beribadah (lihat Taisirul
‘Allaam hal. 374-375).
Menunda Qodho’ Sampai Sya’ban
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha beliau berkata: “Dahulu aku memiliki hutang puasa Romadhon, akan tetapi aku tidak bisa mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1950, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1146, Maalik dalam Al Muwaththo’ dalam kitab Shiyaam, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2399, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 783, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/191, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1669)
Dalam kitab Shohih-nya Imam Muslim memberikan riwayat tambahan, Hal itu karena kedudukan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (sebagai suamiku).
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Bolehnya
mengakhirkan qodho’ puasa Romadhon sampai bulan Sya’ban selama ada alasan yang
bisa diterima.
2. Yang lebih
utama adalah menyegerakan qodho’ selama tidak ada hambatan, karena ‘Aisyah
menjelaskan apa yang menyebabkan beliau melakukan demikian.
3. Tidak boleh
menunda qodho’ hingga melampaui bulan Romadhon sesudahnya.
4. Keluhuran
budi yang dicontohkan oleh ‘Aisyah (dalam perannya sebagai isteri), semoga
Alloh menganugerahkan kepada kaum wanita kita kemampuan untuk meneladaninya
(lihat Taisirul ‘Allaam
hal. 376).
Hutang Puasa Orang yang Mati
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan punya hutang puasa maka walinya yang membayar puasanya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1952, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1147, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2400)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Zhohir hadits
ini menunjukkan wajibnya mengqodho’ puasa si mayit, sama saja apakah puasa
nadzar atau puasa yang secara asalnya wajib menurut syari’at (puasa Romadhon),
ini menyelisihi pendapat Imam Abu Dawud yang menganggap hal itu hanya berlaku
untuk puasa nadzar saja.
2. Orang yang menanggung
hutang puasa adalah walinya yaitu orang yang akan mendapat bagian warisan
apabila dia meninggal (lihat Taisirul
‘Allaam hal. 377).
Dari Abdulloh bin ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma beliau berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, “Wahai Rosululloh sesungguhnya ibuku telah meninggal dan dia memiliki hutang puasa sebulan apakah aku harus mengqodho’ puasa itu baginya ?” Beliau menjawab, “Seandainya ibumu punya hutang, apakah engkau akan membayarkannya ?” Dia menjawab, “Iya” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka hutang kepada Alloh lebih berhak untuk ditunaikan.” (Hadits riwayat Al Bukhori di dalam kitab Shoum no. 1953 dan Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1148)
Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa suatu saat ada seorang perempuan yang datang menemui Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “Wahai Rosululloh sesungguhnya ibuku telah meninggal dan dia memiliki hutang puasa nadzar apakah saya harus berpuasa menggantikannya ?” Beliau bersabda, “Bagaimana menurutmu seandainya ibumu memiliki hutang kemudian kamu membayarkannya, apakah hal itu bisa menunaikan hutangnya ?” Dia menjawab, “Iya” Beliau bersabda, “Maka berpuasalah untuk ibumu.” (Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shiyaam no.1148, 156)
Faedah yang bisa dipetik dari dua hadits di atas adalah:
1. Riwayat yang
pertama menunjukkan bahwa hutang puasa mayit baik karena nadzar atau puasa
wajib (Romadhon -pent) ditunaikan/diqodho’.
2. Riwayat yang
kedua menunjukkan bahwa puasa yang ditunaikan hutangnya bagi si mayit adalah
puasa nadzar.
3. Zhohir dari
kedua hadits di atas menunjukkan kisah yang berbeda, yang satu terjadi pada
seorang lelaki dan yang satunya terjadi pada seorang perempuan. Maka kandungan
hukum keduanya dibiarkan sendiri-sendiri, riwayat yang pertama tidak
disempitkan maknanya oleh riwayat yang kedua, jadi hukumnya tetap berlaku
sebagaimana keumuman riwayat yang pertama (yaitu hutang puasa yang harus
diqodho’ adalah puasa wajib, baik karena nadzar atau puasa Romadhon-pent).
4. Alasan
ditunaikannya tanggungan si mayit yang terdapat di dalam hadits ini berlaku
secara umum dalam masalah tanggungannya kepada Alloh, hutang piutang dengan
sesama makhluk, kewajiban karena nadzar serta kewajiban lain yang pada asalnya
memang diwajibkan oleh syari’at, maka semuanya harus ditunaikan (diqodho’) bagi
si mayit. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh Abdurrohman Alu Sa’di menukil
dari Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rohimahumalloh.
5. Di dalam
hadits tersebut terkandung penetapan tentang keabsahan dalil qiyas/analogi yang
merupakan salah satu pokok yang dipegang oleh Jumhur ulama’ dalam menyimpulkan
dalil. Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam telah memberikan permisalan bagi mereka berdua (lelaki dan
perempuan yang bertanya -pent) dengan permisalan yang sudah disepakati oleh
mereka agar memudahkan pemahaman dan supaya hal itu semakin mudah dicerna oleh
pikiran mereka, karena sesungguhnya menyerupakan sesuatu yang jauh (agak sulit
dijangkau) dengan sesuatu yang dekat (mudah dipahami) akan mempermudah
pemahaman dan pengertian.
6. Dalam sabda
Nabi “Hutang Allah lebih berhak
untuk ditunaikan.” terkandung dasar hukum didahulukannya zakat dan
hak-hak Alloh dalam hal harta apabila hak-hak-Nya dan hak-hak anak Adam saling
berbenturan pada harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati. Tapi ada juga
yang berpendapat bahwa hak-hak tersebut disamaratakan (lihat Taisirul ‘Allaam juz I, hal.
380-381).
Larangan Puasa Wishol (Bersambung)
Dari Abdulloh bin ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang puasa wishol. Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya anda juga mengerjakan wishol.” beliau bersabda, “Sesungguhnya keadaanku tidak sebagaimana kalian, aku diberi makan dan diberi minum.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1962, Muslim dalam kitab Shiyaam 1102, Maalik dalam Al Muwaththo’ di kitab Shiyaam, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2320)
Dan dalam riwayat Bukhori dari Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu Nabi bersabda, “Barangsiapa di antara kalian ingin wishol maka hendaklah dia wishol (tidak berbuka) sampai waktu sahur.” (Hadits riwayat Al Bukhori no. 1963 dalam kitab Shoum, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2361, Ad Daarimi II/8 dalam kitab Shoum dan Ahmad dalam Musnad-nya III/87)
Al Imam An Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan wishol adalah: berpuasa selama dua hari dan seterusnya tanpa sedikitpun makan dan minum dalam rentang waktu tersebut (lihat Syarah Muslim Jilid IV hal. 434)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Diharamkannya
puasa wishol.
2. Wishol boleh
dikerjakan bagi orang yang mampu melakukannya sampai waktu sahur dan
meninggalkannya itu lebih utama.
3. Kasih sayang
Pembuat syari’at Yang Maha bijaksana yang amat menyayangi ummat ini dalam
bentuk pengharaman segala sesuatu yang membahayakan diri mereka.
4. Larangan
berlebih-lebihan/melampaui batas dalam beragama, karena sesungguhnya syari’at
ini adalah syari’at yang lapang dan penuh keseimbangan, dengan menunaikan hak
kepada Robb dan juga menunaikan hak badan. Sesungguhnya kewajiban-kewajiban
syari’at itu dibebankan demi mencapai kemaslahatan yang nantinya akan kembali
kepada hamba itu sendiri, baik dari sisi diniyah maupun duniawiyah. Dan karena
perhatian Pembuat syari’at terhadap maslahat tersebut maka hal itu menjadi
faktor pendorong pembebanan kewajiban kepada hamba.
5. Puasa wishol
merupakan salah satu kekhususan Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam karena hanya beliaulah yang benar-benar sanggup
untuk melaksanakannya, dan tidak ada seorangpun yang bisa mencapai keadaan
sebagaimana yang dimiliki beliau.
6. Makna
ungkapan Nabi shollallohu ‘alaihi
wa sallam diberi makan dan minum dalam hadits ini artinya beliau
dianugerahi kelezatan bermunajat kepada Alloh dan kegembiraan jiwa yang amat
besar yang meliputi dirinya sebab keinginan berjumpa dengan Dzat yang paling
dicintainya. Banyak bukti pada manusia yang menguatkan pendapat ini, dan
kenikmatan seperti hanya bisa dicapai oleh Kekasih Ar Rohman dan orang yang
paling dicintai-Nya yaitu Muhammad sholawaatulloohi wa salaamuhu ‘alaihi dan tidak
ada seorangpun yang bisa mengejar beliau dalam perkara ini [akan tetapi makna
diberi makan dan minum dalam hadits ini yang lebih tepat Wallohu a'lam adalah
sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, artinya: Alloh menganugerahkan kepada
beliau kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum (lihat Syarah Muslim Juz IV hal. 435)].
7. Tenggelamnya
matahari adalah waktu untuk berbuka puasa. Dan orang yang berpuasa tidaklah
dihukumi sudah berbuka dengan masuknya waktu berbuka -sebagaimana sudah
dijelaskan di depan-, kalau tidak demikian niscaya tidak ada artinya wishol
sebab secara otomatis ketika matahari tenggelam dia telah dihukumi berbuka
karena sudah masuk waktunya.
8. Di dalam
hadits ini terkandung kekhususan yang hanya dimiliki Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang
merupakan pengecualian terhadap (keumuman dalil-pent) firman Alloh Ta’ala yang
artinya, “Sungguh telah ada
teladan yang baik bagimu pada diri Rosululloh.” (QS. Al Ahzaab: 21)
(Taisirul ‘Allaam juz
I hal. 386).
Puasa Dawud
Dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam diberitahu bahwasanya aku pernah berkata, “Demi Alloh, sungguh aku akan berpuasa sepanjang siang dan dan sholat malam sepanjang hidupku.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah benar kamu yang mengucapkan itu?” Maka akupun menjawab, “Benar, ayah dan ibuku sebagai tebusannya aku memang benar-benar telah mengatakannya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup melaksanakannya maka berpuasa dan juga berbukalah, tidur dan sholat malamlah, dan berpuasalah 3 hari di setiap bulan, karena satu kebaikan itu dilipatkan pahalanya senilai 10 kebaikan, dan itu sudah seperti puasa sepanjang masa/puasa Dahr.” Aku berkata, “Sesungguhnya saya mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka puasalah sehari dan tidak puasa 2 hari.” Aku berkata, “Sesungguhnya saya mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari Itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihis salam, dan itu merupakan puasa yang paling utama.” Maka akupun mengatakan, “Sesungguhnya saya mampu melakukan yang lebih utama dari itu.” Beliau bersabda, “Tidak ada lagi (puasa) yang lebih utama darinya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1976, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1159)
Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Tidak ada puasa yang boleh dikerjakan melebihi puasa saudaraku Dawud ‘alaihis salam selama separoh masa, maka berpuasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1979 dan no. 6277 dalam kitab Isti’dzan)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Keinginan
kuat yang dimiliki Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash dalam melakukan kebaikan dan
kekuatan beliau dalam melakukannya, sampai-sampai beliau bersumpah untuk
mengerjakan puasa sepanjang masa dan sholat sepanjang malam.
2. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
mengetahui kapasitas kemampuan dalam mengerjakan amalan dan dampaknya, sehingga
beliau bisa mengabarkan kepada Abdulloh bin ‘Amr bahwasanya dia tidak akan
mampu melakukannya, ini artinya hal itu akan memberatkan dirinya dan itu
benar-benar dialaminya kemudian.
3. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
menentukan amalan berdasarkan kemampuan pelakunya. Pada awalnya beliau
membatasi Abdulloh bin ‘Amr untuk mengerjakan puasa 3 hari dalam setiap bulan,
dan ketika dia meminta tambahan beliau melihat di dalam dirinya terdapat
keinginan yang kuat dan kemampuan sehingga beliau memerintahkan, “Berpuasalah sehari dan tidak berpuasalah 2
hari.” Kemudian ketika dia menampakkan keinginannya yang amat kuat
dan meminta tambahan lagi maka beliau menunjukkan kepadanya amalan puasa yang
paling utama, beliau bersabda, “Maka
berpuasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.”
4. Batasan
maksimal puasa yang paling utama adalah sehari puasa dan sehari tidak berpuasa,
itulah puasa yang dilakukan Nabi Dawud ‘alaihis
salaam.
5. Makruhnya
puasa sepanjang masa (puasa Dahr) karena amalan itu menyimpang dari sabda Nabi ‘alaihi sholaatu wa salaam dalam
sebuah hadits, “Tidak sah puasanya
orang yang berpuasa selamanya.”
6. Kelapangan
syari’at ini yang di dalamnya tindakan berlebihan dan melampaui batas dibenci,
sebab aturan syari’at menuntut adanya kemudahan dan kelapangan, karena hal itu
lebih menggiatkan amalan dan lebih bisa dikerjakan secara kontinyu (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal.
388).
Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar