{الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا}
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al
Maaidah:3).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah
nikmat/anugerah Allah Ta’ala
yang terbesar bagi umat Islam, karena Allah Ta’ala
telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga mereka tidak butuh kepada
agama selain Islam, juga tidak kepada nabi selain nabi mereka (nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala menjadikan
beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada
(seluruh umat) manusia dan jin, maka tidak sesuatu yang halal kecuali yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam halalkan (dengan wahyu dari Allah Ta’ala), tidak ada sesuatu yang
haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan.
Dan segala sesuatu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampaikan adalah benar dan jujur, tidak ada kedustaan dan kebohongan
padanya, Allah Ta’ala
berfirman,
{وَتَمَّتْ
كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
“Telah
sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’aam:115).
Yaitu: (kalimat) yang benar dalam semua
beritanya serta adil dalam segala perintah dan larangannya.
Maka ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam
bagi umat ini, maka (ini berarti) nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada mereka
telah sempurna. Oleh karena itu Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu”.
Artinya: Terimalah dengan ridha agama (Islam) ini bagi dirimu, karena inilah
(satu-satunya) agama yang dicintai dan diridhai-Nya, dan dengannya dia mengutus
(kepadamu) rasul-Nya yang paling mulia (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)
dan menurunkan kitab-Nya yang paling agung (al-Qur’an)”[1]
Sikap Seorang Mukmin terhadap Syariat Allah
Di antara ciri utama seorang muslim yang
benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala
dan hari akhir adalah merasa ridha dan menerima dengan sepenuh hati semua
ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}
“Dan
tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata”
(QS al-Ahzaab:36).
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“ذاق
طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً”
“Akan
merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha pada Allah
Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya“ [2]
Tidak terkecuali dalam hal ini, hukum-hukum Islam
yang dirasakan tidak sesuai dengan kemauan/keinginan sebagian orang, seperti poligami, yang dengan
mengingkari atau membenci hukum Allah Ta’ala
tersebut, bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari agama Islam [3], na’uudzu billahi min dzaalik.
Allah Ta’ala
berfirman menceritakan sifat orang-orang kafir,
{ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
“Yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan
(syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal
mereka” (QS Muhammad:9).
Oleh karena itu, dalam memahami dan melaksanakan
syariat Islam hendaknya kita selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata
utama godaan setan untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala:
Yang pertama: sikap berlebih-lebihan
dan melampaui batas dalam memahami dan menjalankan ketentuan syariat-Nya,
terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan syariat yang dirasakan cocok dengan
kepentingan hawa nafsu.
Yang kedua: sikap meremehkan dan
kurang dalam memahami dan melaksanakan ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang ini sering terjadi
pada sebagian hukum syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak
sesuai dengan kemauan hawa nafsunya [4]
Salah seorang ulama salaf ada yang berkata, “Setiap
Allah Ta’ala
memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya) maka setan mempunyai dua
macam godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut): [1] (yaitu
godaan) untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan [2]
(godaan) untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya),
dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil
(diterapkannya kepada manusia)” [5]
Hukum Poligami dalam Islam
Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan
dan boleh tidak) atau istihbaab
(dianjurkan) [6]
Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,
{وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).
Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan
wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan
ayat ini, yaitu firman-Nya,
{فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa
ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan,
yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak
dapat berbuat adil [7], atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali
wanita yang kamu senangi”.
Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam
firman-Nya,
{وَقُلِ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ}
“Dan
katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir” (QS al-Kahfi:29).
Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan
melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya [8]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika
ditanya, “Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau menjawab rahimahullah, “Poligami
(hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang mampu, karena firman Allah Ta’ala (beliau menyabutkan ayat
tersebut di atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi
sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan
(keberadaan) para istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang
wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menikahi
lebih dari empat orang wanita [9] Karena dalam poligami banyak terdapat
kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun permpuan, bahkan
bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki
maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian),
memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin
beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga
mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan.
Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan
khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena
Allah Ta’ala
berfirman,
{فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada
semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat
[10]
Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin berkata, “…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta,
badan (tenaga) dan hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk
menikahi (dua) sampai empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan
badannya, karena dia enerjik,
(sehingga) dia mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga)
mampu dengan hartanya (sehingga) dia bisa memberi nafkah (yang layak) bagi
istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di antara
mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan lebih
dari seorang wanita), semakin banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih
utama. Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata, “Orang
yang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya [11]”…[12]
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun
(hukum) asal (pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati
ucapan para (ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka
yang membahas masalah ini. Ayat al-Qur’an yang mulia (surat an-Nisaa’:3)
menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk
menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami
(dengan menikahi dua) sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki
kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak. Wallahu a’lam” [13]
Hikmah dan Manfaat Agung Poligami
Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat
yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah [14] yang maha sempurna,
maka hukum Allah Ta’ala
yang mulia ini tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di
antaranya:
Pertama: Terkadang poligami harus
dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau
sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga
kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak
keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat
untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus
dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa
terselesaikan kecuali dengan poligami, insya
Allah.
Kedua: Pernikahan merupakan sebab
terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia,
setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala
berfirman,
{وَهُوَ
الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ
رَبُّكَ قَدِيرًا}
“Dan
Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan
adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).
Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan
dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam [15].
Ketiga: Poligami merupakan sebab
terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan
(hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki
keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.
Keempat: Di antara kaum laki-laki
ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak
cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan
selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam
perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang
dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah
dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya [16]
Kelima: Terkadang setelah menikah
ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka
dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan
istrinya.
Keenam: Terkadang juga seorang
suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya
ketika dia sedang bepergian.
Ketujuh: Banyaknya peperangan dan
disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki
yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka
membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini
poligami merupakan solusi terbaik.
Kedelapan: Terkadang seorang lelaki
tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama
atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka
berdua.
Kesembilan: Kadang terjadi masalah
besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang
suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang
pertama, maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kesepuluh: Umat Islam sangat
membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan
persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan
poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.
Kesebelas: Termasuk hikmah agung
poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu,
membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di
rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh
istri yang suaminya tidak berpoligami.
Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung
poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan
istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari
istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya
tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.
Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang
tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu
sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang
disyariatkan-Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah
menunaikan perintah Allah Ta’ala
dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya [17].
Arti Sikap “Adil” dalam Poligami
Allah Ta’ala
memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil
dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak
sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu, karena
Allah Ta’ala
mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna [18] Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ}
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
(QS an-Nahl:90).
Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu
adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal
makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka [19]. Dan ini
tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang
sekecil-kecilnya [20], yang ini jelas di luar kemampuan manusia [21]
Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini,
di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk
kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala
[22],
{وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا
تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang
lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).
Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus
sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari
para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam
perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena
Allah Ta’ala
mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka.
“…karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah
kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang
menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu a’lam” [23]
Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’ (bersikap
adil di antara para istri) [24], dan Imam
Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut,
beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut
bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan
manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan
hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan
mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika
seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan
mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya
(secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu,
berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari
mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam
hati)”, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi
meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau
berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)… [25]
Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini)
Allah Ta’ala
memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara
istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan
intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan
manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai
kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang
lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap
istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam
perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”[26]
Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya):
janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan
tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah
(biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)” [27]
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di
atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil
(menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu
membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada
perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim,
sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin
Muzahim” [28]
Kecemburuan dan Cara Mengatasinya
Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada
dalam diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui
batas. Maka dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang
wanita muslimah yang dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena
kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan seseorang ke dalam
pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela [29],
atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci
ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala
berfirman,
{ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
“Yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat)
yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka”
(QS Muhammad:9).
Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki
untuk lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga
terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan bijaksana,
serta menyelesaikannya dengan cara yang baik [30].
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat
cemburu adalah merupakan watak
bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan tersebut
melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah
yang tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya
di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya.
Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan) terhadap keburukan.
Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap (perkara)
yang bukan keburukan” [31].[32]
Sebab-sebab yang mendorong timbulnya
kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:
- Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
- Godaan setan
- Hati yang berpenyakit
- Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan
menunaikan hak sebagian dari istri-istrinya.
- Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.
- Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan
seorang istrinya di hadapan istrinya yang lain [33]
Adapun cara mengatasi kecemburuan ini
adalah:
- Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
- Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar
bagi wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya
sesuai dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.
- Menjauhi pergaulan yang buruk.
- Bersangka baik.
- Bersikap qana’ah
(menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).
- Selalu mengingat kematian dan hari akhirat
- Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan
kecemburuan tersebut [34].
Nasehat Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami [35]
1. Nasehat
untuk suami yang berpoligami
- Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah
selalu bersikap adil dalam semua masalah, sampai pun dalam masalah yang tidak
wajib hukumnya. Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari
istri-istrimu.
- Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua
istrimu. Usahakanlah untuk selalu mendekatkan hati mereka, misalnya dengan
menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada
mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan
untuk merusak hubungan mereka.
- Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan
semua istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan
dan kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan mencari keridhaan
suami.
- Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari
mereka kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia,
karena rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang
lain, atau dia akan membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang
tidak diketahui istri-istri yang lain.
- Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka,
baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri
yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta
kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan
yang diharapkan.
- Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang
dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut,
supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.
2. Nasehat untuk istri pertama
- Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan
ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi
agama dan kehidupanmu.
- Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh
suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau
kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada
Allah Ta’ala atas
petunjuk-Nya.
- Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan
sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di
hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa
memperbaiki hati dan lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan
itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para wanita yang menentang dan
mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya
berpoligami.
- Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil
yang punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu,
atau dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar
sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.
- Janganlah kamu menanamkan kebencian dan
permusuhan di hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka,
karena mereka adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya
yang buruk hanya akan menimpa pelakunya.
- Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu
terhadap suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta
mintalah pertolongan dan berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan keimanan dan kecintaan
dalam hatimu.
3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi
- Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang
yang telah beristri adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan
takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran
pahala dari Allah atas semua itu.
- Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di
rumah istrinya yang lain dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah
agama yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah
untuk membersihkan rumah dan merawat diri.
- Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke
jalan Allah Ta’ala dalam
hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung
dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi penghalang bagi para
wanita untuk menerima syariat poligami ini.
- Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh
istri-istri suami dan anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu.
Karena perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah
dan menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di
antara kamu dan mereka.
- Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan
keburukan istri suami yang lain. Jangan pernah menceritakan kepada orang lain
bahwa suami berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini
semua termasuk perangkap setan.
- Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara
suami dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini
adalah perbuatan namiimah
(mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk selalu
mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi
dirimu.
Penutup
Demikianlah keterangan tentang poligami yang
menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua
menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena
ditetapkan oleh Allah Ta’ala
yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله
وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1]
Tafsir Ibnu Katsir (2/19).
[2]
HSR Muslim (no. 34).
[3]
Kitab “Fadhlu
ta’addudiz zaujaat” (hal. 24).
[4]
kitab “Ighaatsatul
lahfan” (1/116).
[5]
Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).
[6]
Lihat kitab “Ahkaamut
ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 18).
[7]
Maksudnya adil yang sesuai dengan syariat,
sebagaimana yang akan kami terangkan, insya
Allah.
[8]
Lihat keterangan imam Ibnu Jarir dalam tafsir
beliau (4/238).
[9]
Sebagaimana yang diterangkan dalam bebrapa hadits
yang shahih, diantaranya HR at-Tirmidzi (3/435) dan Ibnu Majah (1/628), dishahihkan
oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[10]
Dinukil dalam majalah “al-Balaagh” (edisi no. 1028, tgl 1 Rajab 1410 H/28
Januari 1990 M).
[11]
Atsar yang shahih riwayat imam al-Bukhari (no.
4787).
[12]
Liqaa-il baabil maftuuh (12/83).
[13]
Fataawal mar’atil muslimah (2/690).
[14]
Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada
tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab
“Taisiirul Kariimir Rahmaan”
(hal. 131).
[15]
Lihak keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani
dalam “Fathul Baari”
(9/143).
[16]
Majmuu’ul fataawa syaikh al-‘Utsaimiin (4/12 –
kitabuz zawaaj).
[17]
Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah”
(hal. 31-32).
[18]
Lihat “Tafsir
Ibnu Katsir” (4/596) dan “Taisiirul
Kariimir Rahmaan” (hal. 447).
[19]
Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah”
(hal. 69).
[20]
Sebagaimana persangkaan keliru orang-orang yang
tidak memahami pengertian adil yang sebenarnya.
[21]
Sebagaimana penjelasan para ulama yang akan kami
nukil setelah ini, insya Allah.
[22]
Bahkan kesalahpahaman dalam memahami ayat ini
menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa poligami tidak boleh dilakukan,
karena orang yang berpoligami tidak mungkin bisa bersikap adil !!? Kita
berlindung kepada Allah dari penyimpangan dalam memahami agama-Nya.
[23]
Kitab “al-Umm”
(5/158).
[24]
Dalam kitab “shahihul
Bukhari” (5/1999).
[25]
Kitab “Fathul
Baari” (9/313).
[26]
Hadits ini adalah hadits yang lemah, diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 2134), at-Tirmidzi (no. 1140), an-Nasa’i (no. 3943) dan
Ibnu Majah (no. 1971), dinyatakan lemah oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i
dan syaikh al-Albani dalam “Irwa-ul ghalil” (7/82).
[27]
Kitab “Tafsiirul
Qurthubi” (5/387).
[28]
Kitab “Tafsir
Ibnu Katsir” (1/747).
[29]
Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah”
(hal. 136).
[30]
Ibid.
[31]
HR an-Nasa’i (no. 2558) dan Ibnu Hibban (no. 295),
dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[32]
Kitab “Fathul Baari” (9/326).
[33]
Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah”
(hal. 140).
[34]
Ibid (hal. 141).
[35]
Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah”
(hal. 143-145).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar