Permasalahan ini masih menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin sampai saat ini. Ada yang berusaha mencari arah kiblat yang harus persis menghadap ke Ka’bah, harus bergeser sedikit ke utara. Ada pula yang berpendapat cukup menghadap arahnya saja yaitu arah barat dan shalatnya tetap sah.
Semoga penjelasan kali ini dapat memberikan sedikit
titik terang dari polemik yang ada. Semoga bermanfaat.
Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat
Syarat sah shalat yang harus dilakukan sebelum
melaksanakannya di antaranya adalah menghadap kiblat. (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At
Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 52, Darul Fikri dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz,
hal. 82, Dar Ibnu Rojab)
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ salatahu),
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ
فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika
engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah
ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim
no. 912)
An Nawawi dalam Syarh
Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak
dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib
shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini
menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul
ihrom dan membaca Al Fatihah.” (Lihat Syarh
An Nawawi ‘ala Muslim, 2/132)
Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak
Menghadap Kiblat
Dalam Matan
Al Ghoyat wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan, “Ada
dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat : [1] Ketika keadaan sangat
takut dan [2] Ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar.”
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا
أَوْ رُكْبَانًا
“Jika
kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.” (QS. Al Baqarah [2] : 239).
Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat dengan
sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang mudah
bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan.
Ibnu Umar mengatakan,
فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ
أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ
رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
“Apabila
rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan
dengan menghadap kiblat atau pun tidak.”
Malik berkata (bahwa) Nafi’ berkata,
لاَ أُرَى عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
“Aku
tidaklah menilai Abdullah bin Umar (yaitu Ibnu Umar, pen) mengatakan seperti
ini kecuali dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR.
Bukhari no. 4535)
Ibnu Umar berkata,
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ
، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan
dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir
di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.”
(HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652) (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi
Syuja’, hal. 53 dan Al
Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82-83, Dar Ibnu
Rojab)
Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah
Secara Langsung
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu
melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan
tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap kea rah lain.
Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika
seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah.
Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan,
‘Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah’.”
(Lihat Al Mughni,
2/272)
Lalu Bagaimanakah Jika Kita Tidak Melihat
Ka’bah Secara Langsung?
Jika melihat ka’bah secara langsung, para ulama
sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu
bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang
berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)?
Dalam Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih
pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat
yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak
melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah
ataukah menghadap ke arahnya saja. (Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816)
Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat
pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy
Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy), mereka mengatakan bahwa bagi
orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah
(tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah
kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis).
Dalil dari pendapat pertama ini adalah
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan
di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al
Baqarah: 144).
Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut
dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke
ka’bah namun cukup menghadap arahnya.
Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah
antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan
Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini shohih.
Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul
Gholi dan Misykatul
Mashobih bahwa hadits ini shohih).
Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat
ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di
Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia
menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa
melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang
diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup menghadap ke
arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya adalah di arah barat dan bergeser
10 derajat ke utara, maka kita harus menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat
yang dipilih oleh Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu
pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah.
Menurut pendapat kedua ini, mereka mengatakan bahwa
yang dimaksud ayat:
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan
di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.” (QS. Al
Baqarah: 144),
yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah. Jadi
seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan
dengan hadits muttafaqun ‘alaih
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua raka’at
di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,
هَذِهِ الْقِبْلَةُ
“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan
Muslim no. 1330).
Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan,
sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu, menurut pendapat
kedua ini mereka katakan bahwa yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di atas
adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah. Bahkan menurut ulama-ulama
tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah
menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah bahasa Arab. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah,
2/1119 dan Nailul Author,
3/253)
Jadi, intinya jika seseorang tidak melihat ka’bah
secara langsung, di sini ada perselisihan pendapat di antara ulama. Padahal
jika kita lihat dalil masing-masing kubu adalah sama. Namun, pemahamannya saja
yang berbeda karena berargumen dengan hadits yang mereka pegang.
Pendapat yang Lebih Kuat
Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung
pada pendapat pertama yaitu pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan
bahwa bagi yang tidak melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk
menghadap arahnya saja. Jadi kalau di negeri kita, cukup menghadap arah di
antara utara dan selatan. Jadi . Sedangkan pendapat kedua yang dipilih oleh
Syafi’iyah, sebenarnya hadits yang mereka gunakan adalah hadits yang bisa
dikompromikan dengan hadits yang digunakan oleh kelompok pertama. Yaitu
maksudnya, hadits yang digunakan pendapat kedua adalah untuk orang yang
melihat ka’bah secara langsung sehingga dia harus menghadap persis ke ka’bah.
Sehingga dapat kita katakan:
1.
Jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita
punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
2.
Namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita
cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di negeri kita adalah arah antara utara
dan selatan.
Sekarang masalahnya, apakah boleh kita –yang berada
di Indonesia- menghadap ke barat lalu bergeser sedikit ke arah utara?
Jawabannya, selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu tidak mengapa. Karena
arah tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar terlepas dari perselisihan
ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita mampu melakukannya dan
tidak menyusah-nyusahkan diri.
Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat,
karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan
kondisi masjid malah menjadi sempit, maka selama itu masih antara arah utara
dan selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika
mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun
atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka
lebih utama kita merubahnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ،
وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ
الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya
agama itu mudah. Tidak
ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan
dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan
dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka
lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang
selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu
setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Lihat
penjelasan hadits ini di Fathul
Bari)
Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah
kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.” Maka cukup kami kemukakan
perkataan Ash Shon’aniy,
“Ada yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah
kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan
diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi
umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada
di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara
langsung).” (Subulus Salam,
1/463)
Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk
mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan
diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya
monggo silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu
kalian.
Demikian penjelasan singkat mengenai arah kiblat.
Semoga kajian yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian dan
semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat agar dapat menerangi jalan
hidup kita. Wallahu a’lam bish
showab.
وَمَا أُرِيدُ أَنْ
أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا
اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ
أُنِيبُ
“Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”
(QS. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar