Silang Pendapat
Perlu diketahui, dalam masalah apakah menyentuh
wanita membatalkan wudhu ataukah tidak, para ulama ada tiga macam pendapat.
Pendapat pertama: menyentuh wanita
membatalkan wudhu secara mutlak. Pendapat ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i,
Ibnu Hazm, juga pendapat dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
Pendapat kedua: menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu secara mutlah. Pendapat ini dipilih oleh madzhab Abu Hanifah,
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Ibnu ‘Abbas, Thowus, Al Hasan Al Bashri,
‘Atho’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat ketiga: menyentuh wanita
membatalkan wudhu jika dengan syahwat. Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik
dan pendapat Imam Ahmad yang masyhur.
Untuk melihat manakah pendapat yang lebih kuat,
mari kita lihat beberapa yang digunakan untuk masing-masing pendapat.
Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita
Melalui Dalil Al Qur’an?
Sebagian ulama yang menyatakan batal wudhu karena
menyentuh wanita, berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); ...” (QS. Al Ma-idah: 6)
Mereka menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’” dengan
menyentuh perempuan. Landasannya adalah perkataan Ibnu Mas’ud ,
اللَّمْسُ، مَا دُوْنَ
الجِمَاعِ.
“Al
lams (lamastum) bermakna selain jima’”.[2] Perkataan yang serupa juga dikatakan
oleh Ibnu ‘Umar.[3] Jadi, menurut keduanya lamastumun
nisaa’ bermakna selain berhubungan badan seperti menyentuh.
Akan tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini
bertentangan dengan perkataan sahabat -yang lebih pakar dalam masalah tafsir-
yaitu Ibnu ‘Abbas
-radhiyallahu ‘anhuma-.
Beliau mengatakan,
إن”المس” و”اللمس”،
و”المباشرة”، الجماع، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء
“Namanya al mass, al lams dan al mubasyaroih
bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan tetapi Allah menyebutkan sesuai dengan
yang ia suka.”
Dalam perkataan lainnya disebutkan,
أو لامستم النساء”، قال: هو
الجماع.
“Makna
ayat: lamastumun nisaa’ adalah jima’ (berhubungan badan).”[4]
Manakah dua tafsiran di atas yang lebih tepat?
Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:
Pertama: Sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath
Thobari bahwa makna “lamastmun
nisaa‘” dalam ayat tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan
dengan makna lain dari kata al
lams.
Alasannya, terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau pernah mencium sebagian istrinya, lalu beliau shalat dan tidak berwudhu
lagi.
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang
perowi (‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah
yang dicium itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa.[5] Juga
terdapat riwayat Ibrahim At Taimiy, dari ‘Aisyah. Riwayat ini dishahihkan oleh
Al Albani.[6]
Kedua: Tafsiran Ibnu ‘Abbas lebih
didahulukan dari tafsiran Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar karena beliau lebih pakar
dalam hal ini.[7]
Ketiga: Kita pun bisa melihat
pada konteks ayat surat Al Maidah ayat 6,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah”:
Dalam ayat ini disebutkan mengenai thoharoh (bersuci) dengan air dari hadats
kecil.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا
“dan
jika kamu junub maka mandilah”: Sedangkan ayat ini untuk bersuci
dari hadats besar.
Lalu setelah itu, Allah menyebut:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى
أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau lamastumun nisaa’, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah.”
Dalam firman Allah: “maka bertayamumlah”. Ini menunjukkan bahwa tayamum
adalah pengganti untuk dua thoharoh sekaligus jika tidak memungkinkan
menggunakan air.
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
مِنَ الْغَائِطِ
“atau kembali dari tempat buang air (kakus)”: ini adalah untuk hadats
kecil. Jadi tayamum bisa sebagai pengganti wudhu.
أَوْ لَامَسْتُمُ
النِّسَاءَ
“ atau lamastumun nisaa’”: ini adalah untuk hadats
besar. Jadi tayamum bisa mengganti mandi junub. Sehingga dari sini, lamastumun nisaa’ termasuk
hadats besar. Jadi maknanya bukan hanya sekedar mencium atau menyentuh.
Catatan:
Memang kata al
lams bisa bermakna menyentuh (meraba) dengan tangan sebagaimana
disebutkan dalam ayat berikut,
وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ
كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ
“Dan
kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat
menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri” (QS. Al An’am: 7)
Begitu pula dapat dilihat dalam hadits,
وَالْيَدُ
زِنَاهَا اللَّمْسُ
“Zinanya
tangan adalah dengan meraba.”[8]
Namun sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Jarir Ath
Thobari, makna “lamastmun nisaa‘”
dalam ayat tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan
dengan makna lain dari kata al
lams.
Dalil Lain Bahwa Menyentuh Wanita Tidak
Membatalkan Wudhu
Pertama: Hadits ‘Aisyah, ia
berkata,
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى
عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku
menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika
itu beliau sedang (shalat) di masjid …”[9]
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ
يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَرِجْلاَىَ فِى قِبْلَتِهِ ،
فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى ، فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا .
قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
“Aku
pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua
kakiku di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu
aku memegang kaki tadi. Jika bediri, beliau membentangkan kakiku lagi.”
‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi
ketika itu tidak ada penerangan.”[10]
Ketiga: Sudah diketahui bahwa para
sahabat pasti selalu menyentuh isti-istrinya. Namun tidak diketahui kalau ada
satu perintah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk berwudhu dan tidak ada satu riwayat yang
menyebutkan bahwa ketika itu para sahabat berwudhu. Padahal seperti ini sudah
sering terjadi ketika itu.
Bahkan yang diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium
sebagian istrinya dann tanpa berwudhu lagi. Walaupun memang hadits ini
diperselisihkan oleh para ulama mengenai keshahihannya.
Namun tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa
beliau berwudhu karena sebab bersentuhan dengan wanita. [11] -Inilah penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang kami sarikan-
Sedangkan perkataan ulama yang menyatakan bahwa
menyentuh wanita dengan syahwat saja yang membatalkan wudhu, maka ini adalah
pendapat yang tidak berdalil.
Namun jika sekedar menganjurkan untuk berwudhu
sebagaimana orang yang marah dianjurkan untuk berwudhu, maka ini baik. Akan
tetapi, hal ini bukanlah wajib. Wallahu
Ta’ala a’lam.
Perhatian: Hukum Menyentuh Wanita Yang Bukan
Mahrom
Jika sudah jelas penjelasan menyentuh wanita di
atas berkaitan dengan masalah wudhu. Lalu bagaimana dengan hukum menyentuh
wanita yang bukan mahrom, berdosa ataukah tidak? Ada hadits yang bisa kita
perhatikan, yaitu dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu , Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ
وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ
وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ
يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap
anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti
terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua
telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan
adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati
adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan
membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[12] Zina tangan adalah
dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom dan di sini disebut dengan zina
sehingga ini menunjukkan haramnya. Karena ada kaedah: “Apabila sesuatu
dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut adalah haram.”[13]. Semoga kita bisa memperhatikan hal ini.
Kesimpulan:
Menyentuh wanita tidak membatalkan menurut pendapat
yang lebih kuat. Namun jika menyentuh wanita bukan mahrom, ada konsekuensi
berdosa berdasarkan penjelasan terakhir di atas. Wallahu a’lam.
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1]Pemabahasan
ini kami olah dari Shahih Fiqh
Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/138-140, Al Maktabah At Taufiqiyah
dengan beberapa tambahan seperlunya.
[2] Lihat Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan fii Ta’wilil Qur’an),
Ibnu Jarir Ath Thobari, 8/393, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun
1420 H. Syaikh Ahmad Syakir dalam ‘Umdatut
Tafsir (1/514) mengatakan bahwa sanad riwayat inii yang paling shahih.
[3] Idem.
[4] Lihat Tafsir Ath Thobari (8/389). Sanad riwayat
ini shahih sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Abu Malik dalam Shahih
Fiqh Sunnah, 1/139.
[5] Diriwayatkan oleh Ath Thobari (8/396). Beliau
menshahihkan hadits-hadits semacam ini.
[6] HR. An Nasa-i no. 170. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat Misykah Al Mashobih 323 [24].
[7] Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Malik
dalam Shahih Fiqh Sunnah,
1/139.
[8] HR. Ahmad 2/349. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] HR. Muslim no. 486.
[10] HR. Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512.
[11] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 35/358.
[12] HR. Muslim no. 6925.
[13] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin
Yusuf Al Juda’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar