Tawasul artinya
mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan
kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk rasul-Nya, dan
mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan diridhoi-Nya. Atau
dengan kata lain seseorang melakukan suatu ibadah dengan maksud
mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Namun, sebagian kaum
muslimin salah dalam memahami tawasul. Mereka bertawasul dengan
orang-orang shalih dan wali yang sudah mati. Inilah yang mereka
anggap sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Padahal hal
tersebut dapat menjerumuskan mereka ke lembah kesyirikan.
Tawasul
yang Diperbolehkan
Pembaca yang semoga
dirahmati oleh Allah. Perlu diketahui bahwa tawasul dibagi menjadi
dua yaitu tawasul syar’i
dan tawasul bid’i.
Tawasul syar’i
adalah tawasul yang ditetapkan oleh syariat, yakni yang memiliki
dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi. Maksudnya mengambil wasilah
(perantara) untuk terkabulnya doa, yakni seseorang yang berdoa
mengambil sebab-sebab yang dapat menjadikan terkabulnya doa.
Sedangkan tawasul bid’i
adalah tawasul yang tidak terdapat dalil yang membolehkannya, bahkan
di antaranya merupakan perbuatan kesyirikan. Jenis tawasul
syar’i yaitu:
Pertama:
Bertawasul dengan zat
Allah yang Maha Suci, dengan nama-nama-Nya yang baik, dengan
sifat-sifat-Nya, atau dengan perbuatan-Nya. Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala (yang
artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna
, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…”
(QS. Al A’raf:180). Dalilnya juga adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
doa beliau, “… Aku memohon dengan setiap
nama-Mu, yang Engkau memberi nama diri-Mu dengannya, atau yang Engkau
ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam
kitab-Mu, atau Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…”
(H.R Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih,
Silsilah Ash Shahihah no. 199).
Kedua:
Bertawasul dengan amal
shalih. Bertawasul dengan amal sholih juga diperbolehkan. Dalilnya
adalah firman Allah (yang artinya), “Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah
daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al
Baqarah:127). Adapun dalil dari hadits yakni dalam kisah tiga orang
yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal shalih
yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua,
meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka
Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa
karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan
diperbolehkannya sesorang bertawasul dengan amal sholih.
Ketiga:
Bertawasul dengan doa
orang lain. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
ketika mengkisahkan anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihis
salaam (yang artinya), “Mereka
berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap
dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah
(berdosa)“.(QS. Yusuf:97). Sedangkan dalil
dari hadits adalah doa Rasullullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk ‘Ukasyah bin
Mihson radhiyallhu ‘anhu.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memohon kepada Allah agar menjadikan ‘Ukasyah termasuk tujuh
puluh ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab.
Para
Sahabat Bertawasul dengan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salaam
Semasa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
hidup, di antara para sahabat ada yang bertawasul dengan beliau.
Seorang arab badui pernah menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di saat beliau sedang
berkhotbah dan ia meminta didoakan oleh beliau. Demikian pula yang
dilakukan sahabat ‘Ukasyah bin Mihson adalah contoh bertawasul
lewat perantaraan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Namun yang perlu diingat,
yang dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
hidup. Adapun setelah wafatnya beliau, maka hal ini tidak
diperbolehkan.
Oleh karena itu, ketika di
masa khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
terjadi kekeringan, mereka tidak meminta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar berdoa kepada Allah untuk
meminta hujan karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sudah tiada. Namun ‘Umar meminta
kepada ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu,
paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. ‘Umar berkata, “Ya
Allah, sesungguhnya kami dulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami
maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul
kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami”
(H.R Bukhori). Akhirnya, Allah ‘Azza wa
Jalla menurunkan hujan kepada mereka melalui
perantaraan do’a Abbas.
Bertawasul
dengan Doa, Bukan Dengan Zat
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Adapun yang dimaksud tawasul dengan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum
adalah bertawasul dengan doa dan syafaat
Nabi”. Beliau melanjutkan lagi, “
Adapun tawasul dengan doa dan syafaat sebagaimana yang dilakukan
‘Umar adalah bertawasul dengan doa, bukan bertawasul dengan zat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya itu merupakan
tawasul dengan zat beliau, maka tentu bertawasul kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih
utama daripada dengan ‘Abbas rodhiyallahu
‘anhu. Ketika mereka berpaling dari
bertawasul dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun mereka bertawasul
dengan ‘Abbas, maka dari sini kita ketahui bahwa bertawasul dengan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
berlaku ketika beliau masih hidup dan terlarang setelah wafatnya
beliau.”
Maka nyatalah kebatilan
perbuatan sebagian kaum muslimin yang bertawasul dengan zat dan
kedudukan orang-orang shalih yang telah meninggal.
Tawasul
Terlarang
Tawasul yang terlarang
adalah tawasul yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana Allah
sebutkan dalam Al Quran (yang artinya), “Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.”
(QS. Az Zumar:3).
Dalam ayat lain Allah
Ta’ala berfirman,
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah
apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan
tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah
pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”
(QS. Yunus:18).
Kedua ayat di atas
menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka menyembah
selain Allah sebagai perantara, mendekatkan mereka kepada Allah dan
memberi syafaat bagi mereka. Mereka tidak semata-mata meminta kepada
sesembahan mereka, namun sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara
dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan yang dilakukan
kaum musyrikin zaman kita. Mereka menganggap wali yang sudah
meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat bagi mereka.
Bertawasul
dengan Kedudukan Orang Shalih
Sebagian orang melakukan
tawasul dengan jah
(kedudukan) orang shalih yang sudah meninggal. Mereka mengatakan,
“Demi kehormatan Nabi-Mu atau demi
kehormatan wali fulan…”. Tawasul yang
demikian ini terlarang, ditinjau dari dua sisi.
Pertama,
berarti dia telah bersumpah dengan selain Allah, sedangkan bersumpah
dengan selain Allah adalah haram, bahkan termasuk syirik yaitu syirik
asghar (syirik
kecil).
Kedua,
orang itu berarti mempunyai keyakinan bahwa seseorang memiliki hak
atas diri Allah. Padahal seseorang itu tidaklah memiliki hak selain
yang telah Allah anugerahkan kepadanya.
Pembaca yang dirahmati
Allah, inilah beberapa fenomena tawasul yang tersebar di masyarakat.
Sebagiannya salah dalam memahami dan mengamalkan tawasul sehingga
terjerumus dalam keharaman, bahkan kesyirikan. Wallahul
musta’an.
[Diringkas dengan sedikit
perubahan dan tambahan dari Kitab Al Mufiid
fii Muhammaati at Tauhid hal 215-222 karya
Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, cetakan
pertama 1428/2007]
Penulis: Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar