Tolok ukur mampu dalam berhaji telah ditafsirkan dalam hadits, yaitu memiliki bekal dan kendaraan. Namun, tolok ukur dalam hal ini lebih umum dari hal tersebut. Barangsiapa yang mampu berangkat menuju Mekkah dengan berbagai sarana yang ada, maka dia wajib berhaji dan berumrah. Apabila dia mampu berjalan dan mengangkut barangnya, atau menjumpai orang lain yang dapat mengangkutnya, maka dia wajib berhaji dan berumrah. Demikian pula, jika dia mampu membayar biaya transportasi untuk menggunakan alat transportasi modern seperti kapal laut, mobil, dan pesawat, maka haji dan umrah wajib baginya.
Apabila dia memiliki bekal dan kendaraan untuk
berhaji, namun tidak mampu menemukan orang yang bisa menjaga barang dan
keluarganya, atau dia tidak memiliki uang untuk dinafkahkan kepada keluarganya
selama dia berhaji, maka haji tidak wajib baginya karena adanya masyaqqah.
Demikian pula, apabila ternyata jalur perjalanan adalah jalur yang rawan atau
dia khawatir akan adanya perampok, adanya pajak yang teramat memberatkan, atau
waktu tidak cukup untuk sampai ke Mekkah, atau dia tidak mampu menaiki berbagai
alat transportasi yang ada dikarenakan sakit atau adanya bahaya, maka kewajiban
haji gugur darinya dan dia wajib mencari orang untuk menggantikannya berhaji
apabila dia memiliki kemampuan finansial untuk itu. Apabila dia tidak memiliki
kemampuan finansial untuk itu, maka haji tidak wajib baginya. Wallahu a’lam.
Syaikh Ibnu Jibrin.
Fatawa Islamiyah: Asy Syamilah
Rangkuman
Dari penjelasan beliau di atas, tolok ukur mampu
dalam berhaji adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki bekal dan kendaraan yang bisa mengantarkan
seorang untuk berhaji ke Mekkah. Jika tidak memiliki kendaraan, maka dia
memiliki kemampuan finansial untuk membiayai perjalanan haji yang akan
ditempuhnya.
2.
Meninggalkan uang sebagai nafkah keluarganya selama
ditinggal berhaji. Ini merupakan pendapat jumhur[1]
3.
Ada orang yang mampu menjaga barang dan
keluarganya.
4.
Adanya keamanan selama melakukan perjalanan, baik
keamanan yang terkait dengan jiwa maupun harta.
5.
Perjalanan berhaji memungkinkan untuk dilakukan
oleh jama’ah haji ditinjau dari segi fisik jama’ah dan waktu.
Catatan
Bagi kaum muslimin yang memenuhi semua ketentuan di
atas, haji wajib untuk dilaksanakan olehnya.
Kami menghimbau diri kami dan kaum muslimin untuk
memprioritaskan penunaian kewajiban berhaji daripada sekedar memenuhi hasrat
memiliki harta yang tidak urgen seperti mobil dan kebutuhan-kebutuhan non
primer lainnya. Terdapat ancaman bagi mereka yang telah mampu untuk
berhaji namun tidak menunaikannya.
Allah ta’ala
berfirman,
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barangsiapa yang kufur/mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali ‘Imran: 97).
Al Hasan Al Bashri rahimahullah dan ulama selain beliau berkata
tatkala menafsirkan ayat ini,
“Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan
kewajiban berhaji dan dia mampu menunaikannya, dialah orang yang
kafir/mengingkari kewajiban haji.” (Tafsir Al Qurthubi 4/153; Asy Syamilah).
Qatadah meriwayatkan dari Al Hasan, dia berkata
bahwa ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu
‘anhu berkata,
“Sungguh saya berkeinginan untuk mengutus beberapa
orang ke setiap kota untuk meneliti siapa saja yang memiliki harta namun tidak
menunaikan haji, kemudian jizyah diterapkan atas mereka karena mereka itulah
yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya yang artinya, “ Barangsiapa yang kufur/mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam” (Tafsir Al Qurthubi 4/153; Asy Syamilah).
Sa’id bin Jubair rahimahullah
berkata,
“Jika tetanggaku wafat dan dirinya memiliki
kemampuan untuk berhaji namun dia tidak menunaikannya, niscaya saya tidak akan
menyalatinya” (Tafsir Al Qurthubi 4/154; Asy Syamilah).
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
[1] Fathul Qadir 2/126; Al Majmu’ 7/53-57;
Al Mughni 3/222.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar