Kita sering
mendengar kata istighosah. Gampangnya, istighosah adalah meminta pertolongan
agar dihilangkan atau terlepas dari bala bencana. Istighosah berisi do’a permintaan
pada Allah, itulah yang diperintahkan. Jika istighosah ditujukan pada makhluk
yang ia mampu memenuhinya adalah boleh.
Yang
bermasalah adalah jika istighosah tersebut
ditujukan pada makhluk dalam perkara
yang hanya bisa dipenuhi oleh Allah. Yang disebutkan terakhir ini termasuk
syirik bahkan syirik akbar. Ditambah lagi istighosah sering ditambah dengan
tumbal atau sesaji yang ini ditujukan pada penjaga laut atau penjaga kaki
gunung. Inilah tradisi yang masih laris manis di masyarakat kita yang tidak
jauh dari kesyirikan.
Memahami
Istighosah
Ibnu
Taimiyah berkata bahwa makna istighotsah adalah,ِ “Meminta bantuan (pertolongan).”[1] Yang
dimaksud adalah meminta dihilangkan kesulitan.[2] Istighosah termasuk do’a. Namun do’a sifatnya lebih
umum karena do’a mencakup isti’adzah (meminta perlindungan sebelum
datang bencana) dan istighosah (meminta dihilangkan bencana).[3]
Istighosah
adalah Ibadah
Dalil-dalil
berikut menunjukkan bahwa istighosah termasuk ibadah dan tidak boleh
dipalingkan kepada selain Allah.
Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula)
memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian),
itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim".
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 106-107).
Guru kami,
Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Ayat ini menunjukkan
larangan berdo’a kepada selain Allah dan termasuk syirik yang menafikan
tauhid.”[4] Syaikh
Sholih Al Fauzan berkata mengenai ayat 107 bahwa do’a dan ibadah lainnya hanya
boleh ditujukan pada Allah dan do’a yang ditujukan pada selain-Nya termasuk
kesyirikan karena tidak dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.[5]
Ayat di atas
menunjukkan pula bahwa pada hakekatnya, setiap bencana dan musibah yang
menghilangkan adalah Allah semata. Jika ada suatu perkara bisa dihilangkan oleh
makhluk dalam perkara yang ia mampu, maka itu hanyalah sebab. Namun hakekatnya
Allah yang menakdirkan itu semua dengan izin-Nya.[6]
Sehingga
jika seseorang menujukan satu amalan kepada makhluk dalam perkara yang hanya
bisa dilakukan oleh Allah, maka itu termasuk kesyirikan.
Mayoritas
orang yang melakukan istighosah dan do’a adalah dalam rangka meminta rizki. Dan
rizki adalah sesuatu yang diberi atau dihadiahi. Di dalamnya termasuk
kesehatan, keselamatan, harta, makanan, tempat tinggal, hewan tunggangan, dan
segala hal yang dibutuhkan oleh seseorang.[7]
Dalam
meminta rizki, kita diperintahkan untuk berharap pada Allah saja sebagaimana
disebutkan dalam ayat,
“Sesungguhnya
apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta.
Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki
kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan
bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.” (QS.
Al ‘Ankabut: 17).
Syaikh
Muhammad At Tamimi menyebutkan dalam kitab tauhid tentang fawaid dari ayat ini
di mana beliau berkata, “Meminta rizki tidak boleh ditujukan selain pada
Allah semata. Sebagaimana meminta surga tidak boleh meminta kecuali dari-Nya.”
Orang-orang
yang berdo’a termasuk di dalamnya istighosah disebut orang yang sesat
sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru (berdo’a pada)
sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai
hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” Dan apabila
manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi
musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al
Ahqaf: 5-6).
Yang
dimaksud “sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan
(doa) nya” bukanlah berhala. Karena yang digunakan kata “مَنْ”, maka yang dimaksud adalah orang berakal. Sehingga
yang dimaksud adalah mayit dan bukan berhala.
Jadi ayat
ini dimaksudkan bahwa orang yang berdo’a pada selain Allah (termasuk
istighosah), maka ia benar-benar sesat dan tidak ada yang lebih sesat darinya.[8]
Yang bisa
mengabulkan do’a ketika seseorang dalam kesulitan (baca: istighosah) hanyalah
Allah semata. Allah Ta’ala berfirman,
“Atau
siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia)
sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat
sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. An Naml: 62).
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Jika selain Allah tidak bisa
mengabulkan do’a hingga hari kiamat, bagaimana mungkin engkau menjadikan selain
Allah sebagai tempat untuk berisitghosah?” Sehingga sungguh batil
ketergantungan para hamba selain Allah ini dengan sesembahan-sesembahan
mereka.”[9]
Masih banyak
ayat-ayat yang semisal di atas. Intinya, ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa
istoghosah kepada selain Allah termasuk bagian dari do’a. Sedangkan do’a adalah
ibadah. Begitu pula istighosah adalah ibadah. Dan memalingkan ibadah kepada
selain Allah termasuk kekufuran dan syirik.[10]
Kapan
Istighosah Termasuk Syirik?
Sebagaimana
telah dipahami bahwa istighosah adalah meminta pertolongan agar terhindar dari
kesulitan, maka tidak boleh hal ini ditujukan selain pada Allah terkhusus pada
hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah semata. Karena istighosah bisa
saja diminta dari makhluk yang mampu memenuhinya.
Syaikh
Sholih Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Sebagian ulama memberikan
ketentuan kapan istighosah termasuk syirik akbar, yaitu ketika istighosah
ditujukan pada makhluk yang mereka sebenarnya tidak mampu memenuhinya. Sebagian
lagi berkata bahwa istighosah adalah meminta pertolongan dihilangkan bencana
pada makhluk pada perkara yang tidak dimampui selain Allah. Pendapat terakhir,
itulah yang lebih tepat.”[11]
Dari
penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika seseorang meminta tolong pada orang
lain ketika ia akan tenggelam dan ini termasuk istighosah, maka ketika orang
yang dimintai tolong tidak mampu menolong, itu belum tentu termasuk syirik
akbar. Karena istighosah yang termasuk syirik akbar adalah meminta tolong pada
makhluk pada perkara yang tidak dimampui selain Allah. Sedangkan menolong orang
yang tenggelam mampu dilakukan oleh makhluk, namun ada yang tidak bisa
memenuhinya.
Sehingga
kapan istighosah dikatakan syirik akbar sangat baik jika yang jadi pegangan
adalah kriteria kedua sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Sholih Alu
Syaikh di atas. Istighosah termasuk syirik akbar jika permintaan tolong
tersebut ditujukan pada makhluk dalam perkara yang hanya bisa dipenuhi oleh
Allah, tidak yang lainnya.[12]
Tradisi Istighosah
Disertai Tumbal
Jelas sekali
jika istighosah dilakukan dengan meminta pada penjaga laut atau penjaga gunung
agar terlepas dari bencana dinilai sebagai kesyirikan bahkan syirik akbar.
Namun istighosah yang dilakukan saat ini kadang terlihat islami karena
dilakukan dengan berdo’a meminta pada Allah.
Akan tetapi
sayangnya ritual istighosah diikuti dengan kesyirikan seperti disertai dengan
ritual tumbal kepada penjaga kaki gunung. Sebagai contoh adalah apa yang
terjadi di kaki Gunung Merapi berikut ini:
Suharno, pemimpin ritual, kepada tim CyberNews, Selasa
(15/3), mengungkapkan, "Ini adalah ritual pertama yang dilakukan warga
Srumbung. Selain itu akan dilakukan juga istighosah di lereng merapi, sebagai
bentuk permohonan kepada Allah SWT agar kami diberi kekuatan dan keselamatan
dalam menghadapi cobaan dan musibah panjang ini"
Dalam ritual tersebut juga diikuti penanaman dua
pasang kepala kerbau jantan dan betina sebagai tumbal kepada Merapi yang
dilakukan di Jurang Jero, yang berjarak 40 km dari puncak Merapi.
Ritual tersebut, dijelaskan Suharno, sebagai bentuk
komunikasi dan hubungan antara manusia dengan alam.
Padahal Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Allah
melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR. Muslim no. 1978).
Dalam ayat,
Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah:
sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Rabb semesta alam” (QS. Al An’am: 162).
Yang
dimaksud nusuk adalah sembelihan dan dalam ayat ini digandengkan dengan
perkara shalat. Sebagaimana seseorang tidak boleh shalat kepada selain Allah,
begitu pula dalam hal menyembelih.
Dalam ayat
lain disebutkan,
“Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (menyembelihlah)” (QS.
Al Kautsar: 2).
Menyembelih
dalam ayat ini digandengkan dengan shalat.
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa menyembelih adalah suatu ibadah dan seseorang tidak
boleh beribadah pada jin atau setan, walaupun dinyatakan hal itu akan
mendatangkan manfaat, atau menolak bahaya. Ini adalah keyakinan batil dan
termasuk syirik kepada Allah, serta termasuk meminta tolong pada setan.
Lihat
bahasan: Jembatan Ambruk karena Tidak Ada Tumbal.
Basmi
Kesyirikan
Perlu kita
sadari bahwa kesyirikan masih laris manis di negeri kita. Tugas kita sebagai
generasi muda untuk memberantas tradisi tersebut dengan mendakwahkannya lewat
cara yang santun dan lemah lembut. Dan tentu saja hal ini butuh ilmu tentang
tauhid dan perlu ada kesabaran untuk mendakwahinya. Dakwah tentu saja tidak
bisa mengubah keadaan masyarakat dalam waktu semalam, namun butuh bertahap dan
butuh akan kesabaran yang besar.
Bahaya
syirik tetap harus terus kita terangkan pada masyarakat. Di antaranya syirik
bisa menghapus amalan kebaikan seorang muslim sebagaimana disebutkan dalam
ayat,
“Seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 88).
Kaum
muslimin perlu diberikan penerangan bahwa sebenarnya bukan dengan memberikan
tumbal atau sesajen pada penjaga gunung atau penjaga laut yang bisa membuat
bencana itu reda atau hilang. Karena syirik adalah sebab utama yang
mendatangkan murka dan siksa Allah, serta menjauhkan seseorang dari rahmat
Allah. Bagaimana kita mau lepas dari bencana sedangkan yang kita lakukan
mendatangkan murka-Nya?
Lihat
bahasan: Bahaya Jika Kita Berbuat Syirik.
Semoga Allah
senantiasa memberikan kita taufik untuk terus dapat mentauhidkan-Nya,
menjauhkan kita dari segala macam kesyirikan serta semoga semakin hidup
generasi-generasi dengan akidah yang kokoh dan yang berpegang dengan cara
beragama yang diajarkan salafush sholih.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Diselesaikan
berkat taufik dari Allah @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 15/07/1433 H
www.rumaysho.com
Referensi:
1.
Al Mulakhosh
fii Syarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al
Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, 1422 H.
2.
Al Qoulul
Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan
Darul ‘Ashimah.
3.
At Tamhid li
Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan
Maktabah Darul Minhaj, cetakan kedua, 1433 H.
4.
Fathul Majid
Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan
Darul Ifta’, cetakan ketujuh, 1431 H.
5.
Majmu’ Al
Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga,
1426 H.
[1].
Majmu’ Al
Fatawa, 1: 101.
[2].
Fathul
Majid, hal. 179 dan At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid, hal. 175.
[3].
Lihat Al
Mulakhosh fii Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 113.
[4].
Idem.
[5].
Al Mulakhosh
fii Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 115.
[6].
At Tamhid,
hal. 180.
[7].
At Tamhid,
hal. 181.
[8].
At Tamhid,
hal. 182.
[9].
Al Qoulul
Mufid, 1: 275.
[10].
Lihat At
Tamhid, hal. 185.
[11].
At Tamhid,
hal. 175.
[12].
Lihat idem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar