Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus
dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) : 103]
Berikut penjelasan waktu-waktu sholat.
[Sholat Zhuhur]
Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu
tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-tengah langit)
menuju arah tenggelamnya (barat).
Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika
waktu zhuhur telah masuk. Sholat zhuhur disebut juga sholat Al Uulaa (الأُوْلَى) karena sholat yang pertama kali
dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis
salam. Disebut juga sholat Al Hijriyah (الحِجْرِيَةُ)[1].
Awal Waktu Sholat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah
bergeser dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan
kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits Nabi Shollallahu
‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ
الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ……..
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir
matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana
tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar……….”[2]
Akhir Waktu Sholat Zhuhur
Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu
zhuhur namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat jumhur/mayoritas
ulama adalah hingga panjang bayang-bayang seseorang semisal dengan tingginya
(masuknya waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu
‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di
atas.
Catatan :
Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung
waktu yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya matahari hingga
tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan membagi duanya.
Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat Zhuhur di
Awal Waktunya
Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu
‘anhu,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى
الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan
sholat zhuhur ketika matahari telah tergelincir”[3].
Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Sholat Zhuhur Jika
Sangat Panas
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi
was sallam,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اشْتَدَّ
الْبَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ ، وَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ أَبْرَدَ
بِالصَّلاَةِ
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika
keadaan sangat dingin beliau menyegerakan sholat dan jika keadaan sangat
panas/terik beliau mengakhirkan sholat”[4].
Batasan dingin
berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak terlalu panjang hingga mendekati waktu
akhir sholat.
[Sholat ‘Ashar]
‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore
hingga matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.
Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu
‘ashar, sholat ‘ashar ini juga disebut sholat woshtho (الوُسْطَى).
Awal Waktu Sholat ‘Ashar
Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan
tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam,
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir
matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana
tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada
selama matahari belum menguning………”[5].
Akhir Waktu Sholat ‘Ashar
Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar
seolah-olah terlihat saling bertentangan.
·
Dalam hadits
yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika
Jibril ‘alihissalam menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was
sallam,
جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ
فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ
فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ
الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ
وَقْتٌ كُلُّهُ
“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika
matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan,
“Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga
saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian
mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam
hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat
seluruhnya”[6].
·
Dalam hadits
yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ
“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………”[7].
·
Hadits Nabi Shollallahu
‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu
‘anhu,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ
تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari
tenggelam maka ia telah mendapatkan sholat ‘ashar”[8].
Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan
ini adalah :
Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril
‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam
melaksanakan sholat ‘ashar.
Adapun hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu
pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh
sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak
artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang
memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak
makruh. Allahu a’lam.
Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi
was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu
‘anhu,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى
الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ
“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering
melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi”[9].
Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini
berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu
‘anhu. Dia mengatakan,
كُنَّا مَعَ بُرَيْدَةَ فِى غَزْوَةٍ فِى يَوْمٍ ذِى
غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلاَةِ الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه
وسلم – قَالَ « مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Kami bersama
Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan,
“Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal”[10].
Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya
meninggalkan sholat ‘ashar.
[Sholat Maghrib]
Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat
tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang dilaksanakan pada
waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib
Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah
ketika matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar tenggelam sempurna.
Akhir Waktu Sholat Maghrib
Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu
maghrib.
Pendapat pertama mengatakan
bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang
diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan
adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat
Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang
diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam sholat,
ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ
وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ…..
“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi
was sallam ketika matahari telah tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril
mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian dia mengatakan,
“Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..”[11].
Pendapat kedua mengatakan
bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah ketika
matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan
inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah.
Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
….وَقْتُ صَلاَةِ
الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ…..
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar
merah ketika matahari tenggelam”[12].
Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.
Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi
was sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,
لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ – أَوْ قَالَ عَلَى
الْفِطْرَةِ – مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُومُ
“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh)
selama mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib hingga munculnya bintang
(di langit)”[13].
[Sholat ‘Isya’]
‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai
gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut
demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’
adalah jika telah hilang sinar merah di langit.
Akhir Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu
sholat ‘isya’.
Pendapat pertama mengatakan
bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya
Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam
mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,
….ثُمَّ جَاءَهُ
لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ…..
“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi was sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam
yang pertama………..”[14].
Pendapat kedua mengatakan
bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah pendapatnya
Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm
rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
…وَقْتُ صَلاَةِ
الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ….
“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”[15].
Pendapat ketiga mengatakan
bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah
pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu
Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,
…إِنَّمَا
التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ
الصَّلاَةِ الأُخْرَى….
“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh
agama adalah orang yang tidak mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”[16].
Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah
hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas
waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan
hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis
Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang
tidak shohih.
Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ أَنْ
يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan
aku perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau
setengah malam”[17].
Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain,
وَالْعِشَاءُ أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا ، وَأَحْيَانًا
يُؤَخِّرُهَا : إذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا
أَخَّرَ
“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan
terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul maa
segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)”[18].
Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam,
كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ
بَعْدَهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci
tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna
setelahnya”[19].
[Sholat Shubuh/Fajar]
Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar
disebut juga sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah.
Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama
(fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang mencuat ka atas
kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.
Fajar kedua adalah fajar
shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan
terus menerus menjadi lebih terang hingga terbit matahari.
Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar
dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.
Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar
dimulai sejak terbitnya matahari.
Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)
Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan
sholat fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika ishfar (cahaya
putih telah semakin terang). Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah.
Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – غَزَا
خَيْبَرَ ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلاَةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ
“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was
sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat ghodah (fajar) di
Khoibar pada saat gholas”[20].
Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan
bermanfaat. Amin
Diringkas dari Kitab Shohih Fiqh Sunnah karya
Syaikh Abu Malik Kamal bin Said Salim hal. 237-249/I Cet. Maktabah Tauqifiyah,
Kairo, Mesir
Sigambal, Sebelum Subuh, 10 Mei 2011 M.
Penulis: Aditya Budiman bin Usman
[1] Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori
No. 541.
[2] HR. Muslim No. 612.
[3] HR. Muslim No. 618.
[4] HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.
[5] HR. Muslim No. 612.
[6] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai
shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[7] HR. Muslim No. 612.
[8] HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608.
[9] HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.
[10] HR. Bukhori No. 553.
[11] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai
shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[12] HR. Muslim No. 612.
[13] HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai
shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah.
[14] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai
shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[15] HR. Muslim No. 612.
[16] HR. Muslim No. 681.
[17] HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No.
691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi.
[18] HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.
[19] HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237.
[20] HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar