Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia
diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala
dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam,
meninggalkan
putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan
Ka’bah, beliau berdoa:
Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia,
sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah
menjadi petaka dan siksa baginya.
…Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu
dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan
disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih
suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka
mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab,
dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan
berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan
tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia
menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa
pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia
cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang
sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling
menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu
digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah
ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah
sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan
seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak
dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh
Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar
harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat
manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna
dengannya, yaitu uang kertas.
Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan
dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah
berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat
sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –
maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah
memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka
padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab)
itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.(Riwayat Abu Dawud,
al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu,
ia menuturkan:
Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
dinyatakan:
Dan pada perak,
diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang
penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan
beberapa hal:
1.
|
Nishab adalah batas minimal dari harta zakat. Bila
seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan
zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang
hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar
zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah
besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah
dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu,
pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu di atas, Nabi Shallallâhu
'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu,
maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
|
2.
|
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau
seberat 91 3/7 gram emas.[3]
|
3.
|
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau
seberat 595 gram.[4]
|
4.
|
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan
perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
|
5.
|
Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab
emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5]
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat. |
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang
ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas
atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung
kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia
membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat
(emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu
haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat
2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas
2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia
berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak
menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh
berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang
membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak
harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat
bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan
antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang,
mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]
Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran
setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram
seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah
menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya
sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun
menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam
pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada
saat membeli.[7]
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai
cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya.
Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang.
Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih
bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif
lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang
berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai
alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya
berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk
mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak itu.
Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas
tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang,
menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa
uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum,
seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah
padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki
uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib
mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk
lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh
berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual
seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,-
Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp.
18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1
Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut
ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak
pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak
Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia
bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000
x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas
ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas
melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp.
16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan
perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu
Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa
pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab
emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000
x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah
kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya
no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah
mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum
mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan
kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]
Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat
uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak.
Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak
dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki
emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas
adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000,
maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing
dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi
ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar
zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp
10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan
zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri
atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan
2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis
ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus
mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan
hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk
dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi
mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan
zakat profesi.
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita
akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas
bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
1.
|
Zakat hasil pertanian adalah (seper-sepuluh) hasil
panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan (seper-duapuluh) bila
pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah
2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil)
dan menyeleweng.
|
2.
|
Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih
tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama
sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.
|
3.
|
Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia
secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman
dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu:
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu
pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Pada
awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu menolak upah tersebut, akan
tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
“Bila engkau
diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”.
(Riwayat Muslim)
Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang
sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa
dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu, maka ‘Umar pun
bertanya kepadanya:
“Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab:
“Ke pasar”.
‘Umar kembali bertanya:
“Walaupun engkau telah mengemban tugas yang
menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab:
“Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari
menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab:
“Kita akan memberimu secukupmu”.
(Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)
Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini.
Sungguh,
kaumku telah mengetahui
bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku. Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. (Riwayat Bukhâri) Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun). |
Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada
zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh,
beliau berkata:
“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci,
bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu
nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau
belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib
dizakati”.[11]
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap
Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara
harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara
syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun
sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada
gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik
gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan
uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk
menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun
sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada
Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai
hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak
pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam berikut:
Tidaklah shadaqah
itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu
pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at
Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.
[1]
|
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga
diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
|
[2]
|
Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
|
[3]
|
Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram,
berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522.
Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat
emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ
wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
|
[4]
|
Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan
penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai kitab
beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
|
[5]
|
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
|
[6]
|
Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga
difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no.
9564.
|
[7]
|
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
|
[8]
|
Sebagaimana ditegaskan pada keputusan konferensi
Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke
5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan
Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il,
18/173.
|
[9]
|
Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan
Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât
al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
|
[10]
|
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz
bin Bâz, 14/125.
|
[11]
|
Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin
Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
|
[12]
|
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.
|
(Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun XII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar