Sesungguhnya
orang yang memperhatikan realita kondisi kaum muslimin pada saat ini,
maka dia akan mendapati bahwasanya masih banyak di antara mereka yang
meremehkan atau menggampangkan masalah riba, entah dengan memakannya,
menjadi praktisi, menentukan hukum, mengambil pinjaman,menjadi saksi,
penjamin, penulis, penganjur, pendorong atau pun pambantu dalam proses
riba. Baik Riba yang dilakukan instansi resmi, Bank, BPR, Koperasi,
Leasing,
Toko-toko yang melayani kredit berbunga, Rentenir dan
sebagainya, rasanya hampir semua kebutuhan manusia bisa kena Riba, jika
kita tidak hati-hati.
Seakan-akan urusan riba ini adalah
merupakan satu kebolehan atau paling-paling merupakan hal yang makruh,
atau hanya sebuah kemaksiatan kecil saja. Mereka tidak tahu bahwa itu
termasuk perbuatan dosa besar yang Allah telah megumandangkan perang
kepada para pelakunya di dunia dan akhirat, AIlah juga mengancam mereka
dengan api neraka pada saat hari penghimpunan di hadapan-Nya.
Dan yang lebih disayangkan lagi adalah, anda melihat bahwa banyak dari
mereka, baik tua atau muda bahkan para wanita yang penampilan mereka
mencerminkan orang yang iltizam (konsisten) dengan ajaran Islam,
berjilbab rapi, atau baju koko plus kopiah, namun tetap saja mereka
terlibat dalam dosa besar ini, menganggap remeh hal tersebut dan bahkan
mungkin berlomba-lomba menuju sana. Maka akhirnya mereka terbelenggu
oleh RIBA yang tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah, sebagaimana
mereka juga telah terbelenggu dengan kemarahan Allah aljabbar, dengan
laknatnya, dan kelak terbelenggu dengan siksanya jika mereka tidak mau
bertaubat lalu taubatnya diterima oleh Allah.
Definisi RIBA..?
Ditinjau dari ilmu bahasa Arab, riba mempunyai makna, tmabhan, tumbuh dan menjadi tinggi (AlQamus Muhith)
Sedangkan
arti secara syariat, banyak sekali didefinisikan oleh para Ulama, tapi
definisi yang lengkap adalah; suatu akad/transaksi atas barang tertentu
yang ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaanya menurut syariat
atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek akad
atau salahsatunya.(Mughni Muhtaj oleh Asy-Syarbini 2/21)
Hukum Riba..??
Jawab
: Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun.
Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang
darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang
miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa,
bahkan keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu
keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati. Berdasarkan
keumuman ayat-ayat dan hadits-hadits shahih yang-nyata mengharamkan
riba. Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya omng
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan. mereka berkata
(berpendapat),sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. A1-Baqarah: 275)
Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasannya ia menuturkan,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir),
orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya
(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda,
‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.”(HR. Muslim).
Dampak Riba yang Begitu Mengerikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Satu
dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia
mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina
sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh
Al Albani dalam Misykatul Mashobihmengatakan bahwa hadits ini shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Riba
itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa
seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang
paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.”
(HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)
Tersebarnya
riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka
berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila
telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh
penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab
oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
TANYA-JAWAB SEPUTAR PERBANKAN
1.Bolehkah meminjam uang di Bank Konvesional karena alasan darurat..??
Jawab,
Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Anggapan
darurat Ini adalah tidak benar, karena paksaan atau kondisi darurat
adalah jika seseorang akan kehilangan kehidupannya atau dia akan mati
kelaparan dan tidak bisa tidak, atau dia memang tidak mempunyai jalan
keluar lagi kecuali dengan malakukan sesuatu yang terpaksa tadi. Kondisi
tersebut sama sekali tidak ada dalam realita saat ini, maka
bagaimanakah kita bisa menipu diri sendiri dan mengaku dalam keadaan
terpaksa atau darurat.
Ingatlah, mari kita bertakwa kepada Allah,
dan hendaknya kita tahu bahwa keselamatan dalam soal agama lebih
didahulukan daripada harta dunia, dan perlu kita ketahui bahwa itu semua
adalah ujian dari Allah, apakah kita akan mengedepakan keridhaan Allah
atau keridhaan diri sendiri, hawa nafsu dan harta kita.
Ingatlah, mari segera kita kumandangkan, bahwa: “Memakan sepotong roti
dengan minyak,serta tinggal di gubug (tenda) dalam kehalalan lebih kita
cintai daripada memakan madu dan tinggal di dalam rumah yang megah
tetapi haram.”
2.Apakah bekerja di bank-bank itu hukumnya haram, dan segala permasalahan terkait dengan karyawan juga haram?
Jawab:
Sesungguhnya
bekerja di bank yang memberlakukan sistim riba adalah haram, sebab
pegawai yang bekerja di sana baik itu penulis rekening ribawi, ataupun
yang menyerahkan uang ditempat yang menjalankan riba, atau orang yang
menerimanya, pembawanya, yang mengantarkan berkas-berkasnya dari kantor
ke tempat lain atau dari satu tempat ke tempat lainnya, ataupun pembantu
urusan pekerjaan mereka yang mendukung kelancaran pekerjaan di bank dan
semisal itu maka mereka semua dalam pekerjaan yang haram, baik terlibat
langsung maupun tidak langsung. Dan apa yang yang didapat oleh para
pekerja dengan usaha itu dan dengan malaksanakan pekerjaan tersebut
adalah HARAM termasuk upah atau penghasilan yang haram.
Ini
sungguh berbahaya sekali, RIBA bisa mengenai semua apakah dia orang
baik, maupun jahat. Dari Direktur, Teller, Satpam, Office Boy, Catering
yang menyediakan makan pegawainya, Programmer yang menjual softwarenya
ke Institusi/Lembaga Riba, dan siapapun yang mendapat upah atau
keuntungan bertransaksi dengan lembaga riba. Bisa dibayangkan berapa
juta umat islam yang jatuh kedalam belitan DOSA RIBA…naudzubillah min
dzalik, lebih celaka lagi sudah berdosa besar malah bangga bisa jadi
pegawai BANK.
3.Apa hukum dalam Islam tentang mengambil hutang
dari bank dengan sistim riba untuk membangun rumah sederhana, karena
selama ini ngontrak, dan semakin mahal biaya kontraknya?
Jawab:
Haram
hukumnya mengambil hutang di bank dan selainnya dengan riba baik hutang
itu untuk keperluan membangun rumah atau untuk kebutuhan konsumtif
seperti untuk makan dan
pembelian pakaian atau untuk biaya
pengobatan. Demikian juga jika hutang tersebut digunakan untuk
perdagangan, pengembangan dan selain itu, berdasarkan keumuman ayat-ayat
yangmelarang dari riba dan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan
haramnya riba.
4.Apabila seseorang telah berkecimpung dengan
riba, lalu dia ingin bertaubat maka bagaimanakah Cara membersihkan uang
yang dia dapat dari riba tersebut, apakah bisa disedekahkan?
Jawab:
Hendaknya
dia bertaubat kepada Allah, memohon ampunan, menyesali perbuatannya
yang telah lalu dan berhenti dari bunga atau riba, dengan cara
meginfakkannya kepada para fakir miskin. Namun ini bukan termasuk
kategori sedekah yang disunnahkan, tetapi merupakan bentuk untuk
berlepas diri (berhenti) dari apa yang diharamkan Allah, untuk
membersihkan dirinya dari apa yang telah dia lakukan berupa sesuatu yang
tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Tidak
keringanan dalam meninggalkan yang HARAM. Semua orang islam WAJIB
meninggalkan RIBA, dan jika tidak sungguh sangat berbahaya sekali karena
dengan memakan RIBA, bisa menjadi sebab tidak dikabulkan doa, amalan
shodaqoh, zakat, bahkan Haji dan Umrahnya pun tidak ada artinya.
5.Bagaimana hukumnya dengan Bank Syariah..?
Kita
mesti tinjau dengan benar hakekat bagi hasil yang dilakukan oleh pihak
bank syari’ah, jangan hanya dilihat dari sekedar nama. Benarkah itu bagi
hasil ataukah memang untung dari utang piutang (alias riba)? Bagaimana
mungkin pihak bank syariah bisa “bagi hasil” sedangkan secara hukum
perbankan di negeri kita, setiap bank tidak diperkenankan melakukan
usaha? Lalu bagaimana bisa dikatakan ada bagi hasil yang halal? Bagi
hasil yang halal mustahil didapat dari utang piutang.
Ada penjelasan menarik mengenai kritikan terhadap bank syariah oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi
13167600861412405301hafizhohullah
yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Ilmi. RIBA & Tinjauan Kritis
Perbankan Syariah”. Diantaranya(silahkan dikaji lebih lanjut di bukunya)
atau klik link disini
1.Status Perbankan Yang Tidak Jelas.
Perbankan
syariat yang ada telah mengklaim, bahwa mudharabahmerupakan asas bagi
berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah
pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi antara perbankan dengan
nasabah pelaku usaha. Sekilas, hal ini tidak menjadi masalah, padahal
masalah ini adalah masalah besar yang perlu ditinjau ulang. Sebab,
perbankan dalam hal ini memainkan status ganda yang saling bertentangan.
2.Bank Tidak Memiliki Usaha Riil
Oleh
karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum
memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis
produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan
pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran
perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah [metode ini menjadikan
kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan
syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang
menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba-lomba mendirikan
perbankan syariah
3.Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Bila
pelaku usaha mengalami kerugian walaupun tanpa disengaja, niscaya kita
dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta
kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi
indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha
bukanlah mudharabah, akan tetapi utang piutang yang berbunga alias riba.
Mungkin
operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang
kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan
demikian, perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi.
Maka kita katakan bahwa, alasan serupa juga dapat diutarakan oleh
pelaksana usaha; dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan
hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu
perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati,
walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan
perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali:
4.Nasabah Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Bila
kita berdiri di pintu masuk salah satu bank syariah yang ada di negeri
kita, lalu kita bertanya kepada setiap nasabah yang menabungkan atau
menginvestasikan dananya, “Apakah sikap bapak/ibu bila pada suatu saat
pihak operator bank menyatakan, bahwa usaha yang dikelola bank merugi,
sehingga dana bapak/ibu berkurang atau bahkan hangus?” Saya yakin,
mayoritas atau bahkan seluruh nasabah dengan berbagai macamnya akan
menjawab pertanyaan di atas dengan tegas, “Tidak, dana saya harus aman,
minimal, bila tidak ada bagi hasil, maka harus kembali utuh”. kaidah,
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.”
Dari
sini sebenarnya hubungan antara bank dengan nasabah bukanlah pelaku
usaha dan pemodal yang menjalankan mudharabah, akan tetapi debitur dan
kreditur, karena pemilik modal tidak mau rugi dalam usahanya, sesuatu
yang mustahil kecuali jika usaha utang-piutang.
5.Semua Nasabah Mendapatkan Bagi Hasil
Perbankan
syariah mencampur adukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga,
tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah
yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir
bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan. Mungkin
menurut perbankan syariah yang ada, hal ini tidak menjadi masalah.
Sebab, yang menjadi pertimbangan utama bank dalam membagikan
keuntungannya adalah total modal nasabah, bukan keuntungan yang
diperoleh dari dana masing-masing nasabah.
Akan tetapi, hal ini
menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami.
Sebab, yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada
nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana
nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak
untuk mendapatkan bagian dari hasil
6. Metode Bagi Hasil yang Berbelit-Belit.
Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:
Bagi hasil nasabah= dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah
1000 100
E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.
Dapat
dilihat dengan jelas bahwa, salah satu pengali dalam perhitungan hasil
pada skema di atas adalah total modal (dana) nasabah.
Inilah yang
menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar
syari sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil
dalam akad mudharabah:
Bagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank.
Dari
sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat
yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan, yang
terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah
syariah. Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh
kaum Yahudi tatkala diharamkan atas mereka untuk memakan lemak.
Mengakali pengharaman itu, mereka mencairkan lemak tersebut, lalu
menjualnya dan kemudian hasil penjualan itulah yang mereka makan.
Menanggapi perilaku keji kaum yahudi ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallambersabda,
“Semoga
Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah
mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun
mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil
penjualan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu’alam
Sumber Bacaan, ” Bahagia Tanpa Riba dan RIBA & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah
PERHATIAN
Berhati-hati menjaga harta dan tubuh kita dari RIBA, Walaupun hanya
sebutir permen atau seteguk air yang disediakan oleh BANK/Lembaga
Keuangan Ribawi, Hakekatnya anda memakan dan minum RIBA ..!!!
Insya Allohu Ta'ala... semua file yang ada di blog ini dapat di download, mohon untuk tidak dikomersialkan... Semoga Allohu Ta'ala menjadikan ini semua sebagai ladang amal bagi kami sebagai pengelola blog ini. Aamiin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Download Modul Guru Pembelajar
Silahkan, bagi yang ingin mendownload modul Guru Pembelajar TIK SMP Modul TIK A, klik download Modul TIK B, klik download Modul TIK C, k...
-
PENDAHULUAN Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhamm...
-
Bolehkah mengerjakan puasa 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqodho’ puasa romadhon?
-
Ketika sedang menunggu shalat berjamaah di salah satu masjid, tiba-tiba ada seorang jamaah yang menyapa saya, "Mas, daftar haji untuk ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar