Sudah begitu ma’ruf wisata spiritual ke kubur wali
digalakkan di negeri kita. Bahkan ingin lebih dilestarikan demi meningkatkan
devisa daerah. Memang ziarah kubur adalah suatu hal yang disyari’atkan.
Namun
ada suatu masalah di balik itu. Terjadinya pengkultusan terhadap kubur wali.
Seperti yang pernah kita dengar pada kuburan seorang
“Gus …” yang tanah
kuburnya sampai jadi rebutan para peziarah, ditambah lagi dengan ritual tanpa
dasar yang dilakukan. Dan satu hal yang akan disinggung di sini mengenai safar
ke suatu tempat dalam rangka ibadah.
Ziarah Kubur yang Syar’i
Ziarah kubur yang dituntunkan adalah yang mengingatkan
kepada kematian. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih
mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).” (HR. Muslim no. 976)
Kemudian dituntunkan lagi ketika ziarah kubur untuk
mendoakan penghuni kubur dengan memperhatikan adab berdo’a yaitu menghadap
kiblat dan bukan menghadap ke kuburan. Do’a ketika ziarah kubur sesuai ajaran
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam:
[Assalamu ‘alaikum ahlad diyaar minal mu’minin wal
muslimin –wa yarhamullahul mustaqdimiin minna wal musta’khiriin- wa innaa insya
Allah bikum laahiquun. As-alullaha lanaa wa lakumul ‘aafiyah] “Semoga
keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari (golongan)
orang-orang beriman dan orang-orang Islam, (semoga Allah merahmati orang-orang
yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan). Kami insya Allah
akan bergabung bersama kalian, saya meminta keselamatan untuk kami dan kalian.”
(HR. Muslim no. 975)
Safar Mengunjungi Kuburan Wali
Kuburan para wali songo sangat tersohor sekali di
negeri kita, sampai di Jawa Timur ada 5 kuburan mereka. Orang dari daerah yang
jauh pun berjuang keras datang ke sana demi ziarah kubur.
Jika kita perhatikan dalam ajaran Islam, sebenarnya
ziarah kubur seperti ini terlarang. Dalil larangannya ditunjukkan dalam hadits
berikut ini.
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah pelana itu diikat –yaitu tidak boleh
bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah ke suatu tempat)- kecuali
ke tiga masjid: masjidil haram, masjid Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dan masjidil aqsho” (HR. Bukhari 1189 dan Muslim no. 1397).
Hadits di atas mencakup larangan untuk safar dalam
rangka ibadah ke suatu tempat semata-mata karena tempat itu. Jadi, setiap
safar yang dilakukan dalam rangka ibadah di suatu tempat tertentu adalah
terlarang, kecuali ke tiga masjid tadi, yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan
masjidil aqsho. Adapun jika bersafarnya karena silaturahim, berdagang, mencari
ilmu, rekreasi dan kegiatan mubah lainnya, maka tidak ada masalah.
Semisal kita menuntut ilmu ke suatu masjid di daerah
Jogja dari Jawa Timur, maka ini tidaklah masalah. Karena maksud safar yang
dilakukan adalah bukan mengunjungi masjid, namun yang dimaksud adalah menuntut
ilmu.
Dalil lain yang mendukung maksud hadits di atas adalah
safar dalam rangka ibadah ke suatu tempat tertentu yaitu semata-mata karena tempat
itu, yaitu hadits berikut ini:
Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, katanya: Abu
Basrah Al Ghifari suatu ketika berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari
bukit Thur, lantas ia berkata:
"Dari mana engkau?"
"Dari bukit Thur … aku shalat di sana", jawab Abu Hurairah.
"Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau
berangkat ke sana, engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah pelana itu diikat –yaitu tidak
boleh bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah ke suatu tempat)-
kecuali ke tiga masjid: masjidil haram, masjid Rasul –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dan masjidil aqsho”, kata Abu Basrah. (HR. Ahmad 6:7. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Kita semua tahu bahwa bukit Thur adalah bukit
bersejarah tempat Nabi Musa diajak bicara oleh Allah pertama kalinya, dan
diangkat menjadi Rasul. Allah Ta’ala pernah mengangkat bukit tersebut ke
atas Bani Israel ketika Dia mengambil sumpah setia dari mereka. Di sebelah
kanan bukit Thur, Allah mengumpulkan Musa beserta Bani Israel setelah Fir'aun
dan bala tentaranya binasa. Di bukit itu, Musa memohon untuk bisa melihat Allah
namun kemudian jatuh pingsan, dan di sanalah jua Allah menurunkan Taurat
kepadanya.
Jelas, bukit ini merupakan bukit yang diberkahi oleh
Allah. Dalam menjelaskan hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
"Ucapan Abu Hurairah: 'Aku pergi ke bukit Thur'; jelas sekali dalam
hadits ini bahwa di tidak pergi ke sana kecuali demi mencari berkah dan
shalat di sana".
Imam Abul Walid Al Baaji ketika menjelaskan dialog
antara Abu Basrah dan Abu Hurairah mengatakan: "Ucapan Abu Hurairah: 'Aku
datang dari Bukit Thur' mengandung dua kemungkinan; mungkin dia ke sana
untuk suatu keperluan, atau dia ke sana dalam rangka ibadah dan taqarrub.
Sedang ucapan Abu Basrah: 'Andai saja aku sempat menyusulmu sebelum kau
berangkat, maka kau takkan berangkat', merupakan dalil bahwa
Abu Basrah memahami bahwa tujuan Abu Hurairah ke sana ialah dalam rangka
ibadah; dan diamnya Abu Hurairah ketika perbuatannya diingkari, merupakan
dalil bahwa apa yang dipahami Abu Basrah tadi benar. (Lihat: Al Muntaqa
Syarh Al Muwaththa).
Sanggahan pada Ulama yang Membolehkan
Ibnu Taimiyah menyanggah sebagian ulama yang
menyatakan sah-sah saja bersafar untuk ziarah ke kuburan orang sholeh. Beliau rahimahullah
berkata:
“Mengenai hadits ‘tidaklah diikat pelana
-maksudnya, bersafar- selain pada tiga masjid’, di dalamnya berisi larangan
bersafar ke selain tiga masjid (masjidil haram, masjid nabawi dan masjidil
aqsho). Jika ke masjid selain tiga masjid tersebut saja dilarang, maka ke
tempat lainnya lebih jelas terlarangnya. Karena beribadah di masjid tentu lebih
utama dari tempat selain masjid atau selain rumah. Ini tidak diragukan lagi
karena disebutkan dalam hadits,
“Sebaik-baik tempat di sisi Allah adalah masjid.”
Ditambah, kita dapat memahami bahwa sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam ‘tidak boleh bersafar selain pada tiga masjid’ mengandung
larangan bersafar (dalam rangka ibadah) menuju tempat tertentu semata-mata
niatnya pada tempat tersebut. Beda halnya jika bersafar dalam rangka berdagang,
menuntut ilmu atau selain itu. Bersafar untuk keperluan-keperluan tadi, begitu
pula dalam rangka mengunjungi saudara muslim lain karena Allah, yang dituju
adalah muslim tersebut, maka itu sah-sah saja.
Sebagian ulama belakangan menyatakan sah-sah saja
bersafar untuk berziarah ke kuburan orang sholeh (masyahid). Alasannya adalah
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendatangi masjid Quba’
setiap Sabtu dengan berkendaraan atau berjalan, sebagaimana disebutkan dalam shahihain.
Namun alasan seperti ini tidaklah tepat. Karena
Quba’ bukanlah masyhad (kuburan orang sholeh), tetapi masjid. Bahkan
terlarang bersafar hanya semata-mata untuk mengunjungi Quba’ berdasarkan
kesepakatan para ulama. Karena safar semacam ini bukanlah safar yang
disyari’atkan. Bahkan seandainya ada yang bersafar semata-mata untuk ke masjid
Quba’, itu tidak boleh. Namun seandainya ia bersafar ke masjid Nabawi, lalu ia
menuju ke Quba’, itu dianjurkan. Sebagaimana dibolehkan pula jika kita bersafar
untuk maksud menuju masjid Nabawi, lalu sekaligus ziarah ke kuburan Baqi’ dan
kuburan syuhada Uhud. (Majmu’ Al Fatawa, 27: 21-22)
Di tempat lain, Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan, “Jika seseorang mendatangi masjid Nabawi, maka ia dianjurkan
memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga pada dua
sahabat beliau –Abu Bakr dan ‘Umar-, sebagaimana yang dilakukan para sahabat.
Namun jika ia bermaksud bersafar dengan niatan untuk semata-mata ziarah ke
kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan maksud bersafar untuk
mengunjungi masjid Nabawi, maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Para imam dan kebanyakan ulama menilai niatan untuk
mengunjungi semata-mata pada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah disyari’atkan, tidak pula diperintahkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 27:
26-27).
Jika dengan niatan ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam saja tidak dibenarkan, apalagi ke kuburan wali songo atau seorang
‘Gus …’ yang tidak semulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ditambah jika
ada ritual ‘ngalap berkah’, tawassul dengan wali atau menganggap berdo’a lebih
afdhol di kubur mereka, perbuatan ini tidak lepas dari syirik dan amalan tanpa
tuntunan, alias bid’ah.
Renungkanlah!
Wallahu a’lam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Baca ulasan pendukung lainnya di rumaysho.com: Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Islam.
Referensi:
1.
Faedah dari Durus Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy
Syitsriy Kamis 17 Rabi’ul Awwal 1433 H di Jami’ Syaikh Nashir Asy Syitsri,
Riyadh, KSA, dalam kitab Manhajus Salikin – Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di, bahasan Puasa – I’tikaf.
2.
Faedah dari tulisan Ustadz Sufyan Baswedan, MA dalam
karya beliau “Ini Dalilnya!” (Bantahan terhadap buku “Mana Dalilnya!”)
3.
Majmu’ Al Fatawa, Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim
bin Taimiyah Al Haroni, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
@ Maktab Jaliyat Bathah, Riyadh, KSA, 18 Rabi’ul Awwal
1433 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar