Senin, 16 Januari 2012

Talangan Haji: Contoh Nyata Transaksi Riba

Ketika sedang menunggu shalat berjamaah di salah satu masjid, tiba-tiba ada seorang jamaah yang menyapa saya, "Mas, daftar haji untuk tahun ini, baru bisa berangkat 2018. Untuk bisa daftar, cukup dengan modal 5 jutaan. Nanti, bayar DP 5 jutaan di bank-bank syariah. Sambil melunasi, kita bayar ujrah sekitar 1,5 juta." Merasa penasaran, saya balik bertanya, "Kok, malah kita disuruh bayar, kita 'kan yang naruh uang di bank?" Bapak itu, yang kebetulan pemilik salah satu KBIH di Yogyakarta, akhirnya melengkapi penjelasannya, "Kita bayar 5 juta, nanti bank syariah memberikan fasilitas talangan haji sebesar 25 juta. Ujrah itu sebagai ganti dari biaya talangan haji yang diberikan bank."

Sedikit memahami proses transaksi yang beliau sampaikan, saya pun menyelai, "Oh ..., itu transaksi riba!" Sang Bapak terheran, "Masak riba? Itu, pelaksananya bank syariah." Saya mencoba menjelaskan,
"Tapi, hakikatnya 'kan bank meminjamkan uang ke kita untuk pelunasan biaya haji, dan kita membayar bunga pinjaman ke bank. Itu riba ...." Sang Bapak masih belum bisa menerima, "Ah, enggak lah .... Masak riba? Mestinya 'kan sudah direkomendasi dewan syariah yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan transaksi bank syariah." Sesaat sebelum iqamah dikumandangkan, Sang Bapak mengatakan, “Kalau itu dilarang, terus, dari mana bank dapat uang?” Sebelum sempat menyempurnakan diskusi, iqamah dikumandangkan.

Ya, itulah sekilas gambaran pemahaman orang awam terkait dengan transaksi yang dijalankan oleh bank-bank syariah di tempat kita. Nama nge-tren "syariah", yang dipampang mengiringi kata "bank", telah menjadi legitimasi tersendiri bagi semua kegiatan transaksinya. Dengan nama ini, banyak orang yang menganggap semua transaksi di bank tersebut telah dijamin seratus 100% halal, la raiba fihi (tanpa ada keraguan di dalamnya).

Di sisi lain, kesadaran kaum muslimin di tempat kita akan bahaya dan haramnya riba (baca: bunga bank) banyak mengalami kemajuan. Ini adalah satu realita yang patut kita banggakan dan kita syukuri. Realita ini setidaknya telah membuat mereka sedikit selektif dalam melakukan transaksi keuangan.

Dua fenomena di atas tidaklah membuat bingung para penggiat kegiatan perbankan. Semenjak munculnya fenomena "bank syariah" dan "BMT", semua lembaga bank konvensional berduyun-duyun menjelmakan dirinya menjadi “bank syariah”. Semua berusaha bernaung di bawah legitimasi “syariah”. Tidak hanya itu; semua istilah yang biasanya digunakan dalam transaksi bank konvensional, “dipaksa” untuk disesuaikan dengan istilah yang ber-”bau” syariah.

Terkait dengan hal ini, saya teringat sebuah hadits dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namanya." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namannya, sambil ditabuhnya alat-alat musik di dekatnya, kemudian Allah menenggelamkan (sebagian) mereka ke bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi." (HR. Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Semua orang paham bahwa maksiat itu jelek. Semua orang paham bahwa barang haram itu tidak boleh dikonsumsi. Karena itu, kita tidak jumpai ada dukun yang mempromosikan dirinya dengan nama “dukun” atau “penyihir”. Demikian pula, kita tidak jumpai ada minuman keras yang diiklankan dengan nama “khamar”, namun mereka gunakan nama yang sangat indah: bir (dalam bahasa Arab: البِرّ, artinya: 'berbakti' atau 'berbuat baik').

Pada kasus yang sama, ketika banyak orang mulai sadar akan haramnya riba (baca: bunga), mereka gunakan nama “ujrah” (dalam bahasa Arab artinya 'upah') untuk menyebut “bunga pinjaman”, dan “bagi hasil” untuk menyebut “bunga tabungan”.

Hilah (kamuflase kemaksiatan)

Permasalahan akan lebih ringan, ketika perbuatan maksiat itu dilakukan tanpa diiringi dengan hilah (trik untuk menghalalkan perkara yang haram). Ketika orang yang melakukan perbuatan maksiat itu tahu bahwa yang dia lakukan adalah kemaksiatan, masih ada peluang baginya untuk bertobat. Karena itu, balasan bagi orang yang melakukan hilah lebih berat dibandingkan kemaksiatan yang tidak disertai dengan hilah. Saat menjelaskan hadits dari Abu Malik Al-Asy'ari di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

"Pada hadits ini terdapat ancaman keras bagi orang yang melakukan rekayasa untuk menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan dengan cara mengubah namanya." (Fathul Bari, 10:56)

Bahkan, di antara sebab siksaan yang diberikan kepada orang Yahudi adalah kebiasaan mereka melakukan hilah untuk menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan. Allah berfirman,

“Sungguh, kalian telah mengetahui tentang orang-orang yang melampaui batas di hari Sabtu. Maka, kami firmankan, 'Jadilah kalian kera yang hina!'” (QS. Al-Baqarah:65)

Hukuman ini diberikan oleh Allah ketika mereka melakukan hilah untuk melanggar hal yang Allah larang. Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat ini menceritakan tentang penduduk kampung yang durhaka terhadap aturan Allah dan melanggar perjanjian dengan-Nya, di saat Allah memerintahkan mereka agar mengagungkan hari Sabtu sebagai waktu beribadah (sehingga mereka dilarang untuk menangkap ikan). Akan tetapi, mereka melakukan hilah dengan menangkap ikan di hari Sabtu, (yaitu dengan cara) memasang jaring dan perangkap ikan di hari Jumat. Ketika hari Sabtu, banyak ikan-ikan yang berdatangan dan masuk dalam perangkap mereka. Malam harinya (setelah berlalunya hari Sabtu), mereka mengambil ikan-ikan itu. Karena perbuatan mereka ini, Allah mengubah mereka menjadi kera.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)

Inti pelanggaran penduduk kampung Yahudi ini adalah perbuatan hilah yang mereka lakukan, dalam rangka melanggar aturan Allah. Ini merupakan beberapa hikmah sehingga Allah mengubah mereka menjadi kera; kera merupakan binatang yang paling mirip dengan manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Dengan menimbang bahwa perbuatan dan hilah yang mereka lakukan itu bentuknya mirip dengan kebenaran secara zahir (yang nampak) namun aslinya bertolak belakang dengan kebenaran secara batin (tidak nampak), maka balasan yang mereka terima itu sejenis dengan amalnya (yaitu diubah menjadi hewan yang mirip dengan manusia).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)

Kaidah penting dalam memahami istilah

Berdasarkan hadits Abu Malik Al-Asy'ari di atas dan beberapa hadis yang semakna, para ulama menetapkan sebuah kaidah:

“Perubahan nama tidak mengubah hakikat dan hukum.”

Inilah kaidah yang selayaknya kita pegang dalam memahami berbagai fenomena baru. Lebih-lebih, terkait dengan aturan halal-haram. Betapa banyak orang yang berupaya untuk berusaha menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan.

Di antara sikap yang tepat, terkait muamalah, jangan sungkan-sungkan untuk menanyakan setiap transaksi baru kepada ahlinya. Setidaknya, ini bisa menjadi langkah hati-hati bagi kita dalam bermuamalah.

Transaksi sosial bukan untuk mencari keuntungan

Di bagian akhir diskusi yang tidak seimbang antara saya dengan Sang Bapak, ada bagian penting untuk kita perhatikan, “Kalau itu dilarang, terus, dari mana bank dapat uang?”

Saudaraku, kaum muslimin, patut untuk kita pahami bahwa transaksi keuangan yang kita lakukan secara umum bisa kita kelompokkan menjadi dua:

Pertama: Transaksi mu'awwadhat (komersial). Misalnya: jual beli, sewa-menyewa, permodalan, dan yang lainnya. Untuk transaksi model pertama ini, kita diperkenankan mengambil keuntungan sesuai dengan yang kita inginkan.

Kedua: Transaksi tabarru'at (sosial). Misalnya: utang-piutang atau pinjam-meminjam. Dalam transaksi yang murni untuk maksud sosial, para ulama menyepakati terlarangnya mengambil keuntungan dari salah satu pihak. Hal ini berdasarkan riwayat dari Fudhalah bin Ubaid radhiallahu 'anhu, bahwa beliau mengatakan,

“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”

Keuntungan yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu,

“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah; hadits ini memiliki beberapa penguat)

Dalam riwayat yang lain, dari Abdullah bin Sallam, bahwa beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari)

Ketika seseorang tidak sanggup melakukan transaksi sosial tanpa keuntungan, sebaiknya dia tidak coba-coba memaksa dirinya untuk melakukannya, karena justru dia akan terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang lebih besar.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari jaring-jaring riba. Amin.

***

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.

Artikel www.pengusahamuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Modul Guru Pembelajar

Silahkan, bagi yang ingin mendownload modul Guru Pembelajar TIK SMP Modul TIK A, klik download Modul TIK B, klik download Modul TIK C, k...