Tidak semua orang meraih haji mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji
yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrur berarti
diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji
seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu
hajinya diterima oleh Allah Ta'ala.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai
haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan: "Yang hajinya mabrur
sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak
baik lantaran jamaah haji yang baik." (1)
Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang?
Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang
menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa
memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama
menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan al-Quran dan
al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji
seseorang.
Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah
disebutkan para ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta
yang halal (2), karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan
oleh sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam:
"Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang
baik. (3)
Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa
seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka
yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari
transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh
panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair:
Jika anda haji
dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak
berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah tidak
terima kecuali yang halal saja.
Tidak semua
yang haji mabrur hajinya. (4)
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan
baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua
larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera
melakukan penebusnya yang telah ditentukan.
Disamping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan
keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga.
Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi:
"Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah
haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit
yang ikhlas karena Allah." (5)
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah
haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya,
dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk
bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Iapun teringat perjalanan haji
yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri
dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat
perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat meyendiri, memberikan air minum untuk
orang paling berjasapun terasa berat. Akhirnya, iapun menyadari bahwa dirinya
telah salah.(6)
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan
membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata:
"Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di
dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
(7)
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih
haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab:
"Memberi makan dan berkata-kata baik." (8)
Keempat: Tidak berbuat maksiyat selama ihram.
Maksiyat dilarang dalam agama kita dalam semua
kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika
dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats,
fusuq dan jidal. Allah berfirman:
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui,
barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan
haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan
haji." (9)
Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam bersabda:
"Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan
tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya." (10)
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di
dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan
sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata
lain, segala bentuk maksiyat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di
atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun diluar
waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan
larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur juga
harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa
syirik, bid'ah maupun maksiyat.
Kelima: Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik.
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi
Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan
tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk,
maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya. (11)
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu
bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri
kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan
duniawi yang melalaikan.
Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk
mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik
menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji
akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi
tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji.
Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar