Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat
dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Islam selalu mendatangan kemudahan. Inna ad diina
yusrun[1], sesungguhnya Islam itu mudah, demikian sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di antara kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah
memberikan keringanan saat thoharoh (bersuci). Ketika seseorang mesti
mengenakan khuf (sejenis sepatu) dan sulit ia copot karena berada dalam
perjalanan (misalnya), maka Islam mengajarkan jika kondisi demikian sepatu
tersebut tidak perlu dilepas.
Sepatu tersebut hanya perlu diusap asalkan
sebelumnya dikenakan dalam keadaan suci. Baik, bagaimanakah Islam menjelaskan
hal ini? Alangkah bagusnya kita menyimak ulasan sederhana berikut ini.
Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap?
Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash”
yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu[3]. Jadi yang
dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian
yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki
saat berwudhu.[4]
Dalil Pensyariatan Khuf
Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari
berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu
‘anhu,
“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka
tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.
Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap bagian atas khufnya.”[5]
Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu
‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya.
Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”,
jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan
perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat
Al Maidah berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al
Maidah: 6)[6]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah
menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya
surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah
dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata
belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa
hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci
kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain
yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus
bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.[7]
Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf
diriwayatkan lebih dari 80 sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antara mereka
adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga.[8]
Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak
ada beda pendapat di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf. Karena
setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal itu,
dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan
mengusap khuf.”[9]
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku
tidak mengetahui riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap khuf
kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau
membolehkan mengusap khuf.”[10]
Hukum Mengusap Khuf
Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut
mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap
khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu
wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan),
sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama
Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil
rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu)
adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.[11]
Hikmah Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan
kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali
adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim
dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan
tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan
sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.[12]
Syarat Bolehnya Mengusap Khuf
Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap
khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau
mandi[13]) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah,
ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air.
Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku
ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
beliau berkata,
“Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku
telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup
mengusap khufnya saja.[14] Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah
bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.[15]
Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa
khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh
dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat
tersebut.[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf
disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang
didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf
tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan
miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.”[17]
Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap
khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan
selama masih kuat untuk digunakan berjalan.[18]
Bagian Mana yang Diusap?
Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf,
atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang
diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian
punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf
diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah
disebutkan di awal.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka
tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.
Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap bagian atas khufnya.”[19]
Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada
masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu
mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama
tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam
keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga
malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak
perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami
tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”[20]
Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah
mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf.
‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib,
tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enjadikan
tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan
sehari semalam untuk mukim.”[21]
Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam
(bagi musafir)?
Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali
setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul
Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu
permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama
kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.[22]
Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada
pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut).
Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka
pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam
(pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.
Cara Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf,
kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai
ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang
mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang
terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat
bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.[23]
Pembatal Mengusap Khuf
- Berakhirnya waktu mengusap khuf.
- Terkena junub.
- Melepas sepatu.[24]
Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum
selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan
mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam
keadaan tidak suci.
Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak
diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi,
lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia
boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.[25]
Catatan penting: Jika salah satu pembatal mengusap
khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika
memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An
Nakho’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul
Mundzir dan Ibnu Taimiyah.[26]
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
References:
- Ad Durul Mukhtar, Al Hish-faki, Mawqi’ Ya’sud (sesuai cetakan).
- Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
- Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, Abul Fath Nashiruddin bin ‘Abdis Sayyidin ‘Ali bin ‘Ali bin Al Mathrizi, terbitan Maktabah Usamah bin Zaid, cetakan pertama, 1979.
- Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
- Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
- Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayyid Salim, cetakan Al Maktabah At Taufiqiyah.
- Subulus Salam, Muhammad bin Ismai’l Al Amir Ash Shan’ani, tahqiq: Muhammad Shabhi Hasan Hallaq, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, Muharram 1432 H.
- Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
Riyadh-KSA, 8 Jumadil Ula 1432 H (11/04/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Bukhari no. 39.
[2] Subulus Salam, 1/233.
[3] Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, 2/266.
[4] Ad Durul Mukhtar, 1/281.
[5] HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[6] Lihat HR. Ibnu Majah no. 543. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.
[7] Tuhfatul Ahwadzi, 1/264
[8] Ad Durul Mukhtar, 1/286
[9] Subulus Salam, 1/235.
[10] Idem.
[11] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262.
[12] Idem.
[13] Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain
Syafi’iyah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264.
[14] HR. Ahmad 4/251, Bukhari no. 206 dan Muslim no.
274.
[15] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264.
[16] Fiqih Sunnah, 1/47.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 21/174.
[18] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/154.
[19] HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[20] HR. Ahmad 4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam hadits ini dinilai
shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad ini hasan dilihat
dari jalur ‘Ashim.
[21] HR. Muslim no. 276.
[22] Shahih Fiqh Sunnah, 1/152.
[23] Fiqih Sunnah, 1/48.
[24] Fiqh Sunnah, 1/ 48 dan Shahih Fiqh Sunnah, 1/155.
[25] Shahih Fiqh Sunnah, 1/155
[26] Shahih Fiqh Sunnah, 1/156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar