Hadits semacam ini dibawakan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrod pada Bab “Sebaik-baik harta di tangan orang yang sholih”.
Telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman Telah menceritakan kepada kami Musa bin
Ali dari Bapaknya ia berkata, saya mendengar Amru bin Ash berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang kepadaku agar mengatakan, “Bawalah pakaian dan senjatamu, kemudian
temuilah aku.” Maka aku pun datang menemui beliau, sementara beliau
sedang berwudlu. Beliau kemudian memandangiku dengan serius dan
mengangguk-anggukkan (kepalanya). Beliau lalu bersabda: “Aku ingin mengutusmu berperang bersama
sepasukan prajurit. Semoga Allah menyelamatkanmu, memberikan ghanimah dan dan
aku berharap engkau mendapat harta yang baik.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidaklah memeluk
Islam lantaran ingin mendapatkan harta, akan tetapi saya memeluk Islam karena
kecintaanku terhadap Islam dan berharap bisa bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.” Maka beliau bersabda: “Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah
harta yang dimiliki oleh hamba yang Shalih.” (HR. Ahmad 4/197.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Muslim)
Beberapa faedah dari hadits di atas:
Pertama: Yang dimaksud orang
yang sholih adalah orang yang memperhatikan dan menunaikan hak-hak Allah dan
hak-hak sesama. (Lihat Syarh Shahih Adabil Mufrod, 1/390)
Kedua: Harta yang baik adalah
harta yang dimanfaatkan untuk maslahat dunia dan akhirat (Lihat Syarh Shahih
Adabil Mufrod, 1/390). Ini tentu saja yang pintar mengolahnya adalah
hamba Allah yang sholih yang mengerti kedua maslahat ini. Maka tepatlah maksud
di atas bahwa sebaik-baik harta adalah harta yang dikelola orang yang sholih.
Oleh karena itu, bagi kita yang punya kewajiban
zakat atau gemar berinfak pandai-pandailah untuk memilih tempat yang baik untuk
menyalurkan harta tersebut. Sungguh tidak tepat jika harta tersebut disalurkan
pada peminta-minta di jalan yang kesehariannya meninggalkan shalat. Yang ini
tentu saja jauh dari kesholihan.
Ketiga: Harta yang tidak
digunakan di jalan kebaikan dan melupakan kewajiban, harta seperti ini bisa
jadi hilang barokah dan kebaikan di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Infaqkanlah
hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau
mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki
tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah
akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari no. 1433
dan Muslim no. 1029, 88)
Oleh karena itu, harta tersebut sudah
sepantasnya disalurkan pada hal-hal yang wajib, mulai dari menafkahi keluarga
serta menunaikan zakat jika telah mencapai nishob dan haul. Setelah itu barulah
disalurkan pada hal-hal lain yang bermanfaat.
Keempat: Hadits ini merupakan
pertanda bolehnya seseorang mengumpulkan harta yang halal yang nantinya akan ia
gunakan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya. Ibnu
Hibban membawakan hadits ini dalam kitab Shahihnya pada Bab “Mengumpulkan harta
yang halal.”
Kelima: Tidak apa-apa
seseorang itu kaya, asalkan bertakwa dan memiliki sifat qona’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Tidak
apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang
bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.”
(HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Al Baihaqi dalam kitab Adabnya membawakan hadits
yang kita bahas ini dalam Bab “Tidak
mengapa seseorang itu kaya, asalkan ia bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan
ia menyalurkan hak tadi serta menempatkannya pada tempat yang benar.”
Oleh karena itu kaya harta tidaklah tercela.
Namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan
apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin
‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh sangat beruntung orang yang telah
masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas
dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar