Gencarnya media dalam menampilkan kehidupan yang serba mewah telah menimbulkan gaya hidup konsumsif dalam masyarakat kita. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar, gaya hidup konsumtif pun mulai merambah ke pelosok-pelosok desa.
Seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan
yang memberikan kredit dengan cara yang sangat mudah, masyarakat yang konsumtif
jadi merasa mudah dalam
membeli sesuatu untuk memenuhi hasratnya. Tinggal
mengisi formulir pengajuan kredit, menandatanganinya, barang pun akan terbeli.
Masalah bagaimana melunasinya urusan belakang. Yang penting menikmati dulu
barangnya, menikmati rasa gengsi yang timbul karena membeli barang mahal. Apa
manfaat dari barang yang dibeli seringkali justru menjadi pertimbangan kedua.
Masalah mulai timbul ketika tagihan kredit datang di kemudian hari, yang
ternyata jumlahnya membengkak akibat bunga berbunga yang diterapkan.
Intinya, masyarakat di zaman penuh ‘wah’ saat
ini, untuk mendapatkan barang mewah mau saja terjun dalam praktek riba.
Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi
peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau
yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah).
Tentu Allah tidak meridhoi hal ini, bahkan Allah
murkai. Lalu bagaimana kiat agar kita tidak mudah terjerumus dalam praktek
riba? Beberapa kiat tersebut akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana
berikut ini.
Kiat Pertama: Berilmu Dulu Sebelum Membeli
Dalam bertindak, Islam selalu mengajarkan berilmulah
terlebih dahulu. Dalam masalah ibadah, Islam mengajarkan hal ini agar amalan
seseorang tidak sia-sia.
Dalam masalah muamalah pun demikian. Karena jika tidak
diindahkan, malah bisa terjerumus dalam sesuatu yang diharamkan. Semisal
seorang pedagang, hendaklah ia paham seputar hukum jual beli. Jika ia tidak
memahaminya, bisa jadi ia memakan riba atau menikmati rizki dengan cara yang
tidak halal. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu
agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus
ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
Lihatlah pula apa kata ‘Umar bin Khottob radhiyallahu
‘anhu. Beliau berkata,
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai
dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)
Hal di atas bukan hanya berlaku bagi penjual atau si
pedagang, namun berlaku juga untuk pembeli. Pembeli pun harus tahu seluk beluk
jual beli sebelum bertindak.
Sedikit sekali nasabah perkreditan rumah, mobil atau
motor yang mengetahui bagaimanakah hakekat sebenarnya jual beli kredit yang
mereka lakukan.
Awalnya rumah tersebut ditawarkan oleh pihak A, namun
urusan pelunasan nantinya di Bank Perkreditan. Ini hakekatnya bisa jadi
transaksi riba atau menjual barang yang belum dimiliki secara sempurna. Jika
kita menilik transaksi tersebut, pihak perkreditan pada hakekatnya memberikan
pinjaman kepada kita yang ingin membeli rumah, lalu mereka meminta kita
mengembalikan pinjaman tadi secara berlebih.
Padahal para ulama sepakat, “Setiap utang yang
ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.
Coba dari awal si nasabah atau si pembeli tadi
mengetahui pengertian riba dan berbagai macam bentuk riba. Dan saat ini perlu
sekali setiap orang mendalami hakekat riba karena riba semakin diakal-akali
dengan nama yang terlihat syar’i. Minimal, banyaklah bertanya pada para ulama
yang lebih berilmu sehingga kita pun selamat dari riba sampai debu-debunya.
Kiat Kedua: Mengetahui Bahaya Riba
Setelah mengetahui definisi riba dan berbagai
bentuknya, mengetahui bahaya riba akan semakin membuat seorang muslim
menjauhinya transaksi haram tersebut. Karena dengan mengetahui ancaman-ancaman
riba, tentu ia enggan terjerumus dalam riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Satu dirham
yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih
besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali” (HR. Ahmad 5: 225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana
dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1033).
Dalam hadits yang lain disebutkan,
“Riba itu
ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang
menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah
apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dosa riba bukan hanya berlaku bagi kreditur, pihak
perkreditan atau bank, namun si nasabah atau debitur juga mendapatkan dosa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang
menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.”
Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (karena sama-sama melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).
Kiat Ketiga: Tidak Bermudah-mudahan dalam Berutang
Islam menerangkan agar kita tidak terlalu
bermudah-mudahan untuk berutang. Orang yang berutang dan ia enggan melunasinya
–padahal ia mampu - sungguh sangat tercela.
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka
hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena
di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa saja
yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah
(pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan shahih).
Berhutanglah ketika perlu dan yakin mampu melunasinya!
Karena kita pun tidak mengetahui kondisi kita nantinya, apakah kita bisa
melunasi kreditan kita.
Kiat Keempat: Milikilah Sifat Qona’ah
Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat qona’ah,
itulah yang membuat orang ingin hidup mewah-mewahan. Padahal penghasilannya
biasa, namun karena ingin seperti orang kaya yang memiliki smart phone mahal,
mobil mewah dan rumah layak istana, akhirnya jalan kreditlah yang ditempuh.
Dan kebanyakan kredit yang ada tidak jauh-jauh dari
riba, bahkan termasuk pula yang memakai istilah syar’i sekali pun seperti murabahah.
Menggunakan handphone biasa asalkan bisa berkomunikasi, atau menggunakan motor
yang memang lebih pas untuk keadaan jalan di negeri kita yang tidak terlalu
lebar, atau hidup di rumah kontrakan, sebenarnya terasa lebih aman dan selamat
dari riba untuk saat ini.
Cobalah kita belajar untuk memiliki sifat qona’ah,
selalu merasa cukup dengan rizki yang Allah anugerahkan, maka tentu kita tidak
selalu melihat indahnya rumput di rumah tetangga karena taman di rumah kita pun
masih terasa sejuk.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kaya
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah
hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari
no. 6446 dan Muslim no. 1051).
Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada
segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu
berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang
miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).
Jika seorang muslim memperhatikan orang di bawahnya
dalam hal dunia, itu pun akan membuat ia semakin bersyukur atas rizki Allah dan
akan selalu merasa cukup. Berbeda halnya jika yang ia perhatikan selalu orang
yang lebih dari dirinya dalam masalah harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Pandanglah
orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah
engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan
demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963).
Orang yang memiliki sifat qona’ah sungguh terpuji.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Sungguh
sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan
Allah menjadikannya sifat qona’ah (merasa puas) dengan apa yang diberikan
kepadanya” (HR. Muslim no. 1054).
Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri
selalu memohon kepada Allah agar dianugerahkan sifat qona’ah dalam do’anya,
“Allahumma
inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta
pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf –terhindar dari yang
haram- dan sifat ghina –selalu merasa cukup-).” (HR. Muslim no. 2721).
Kiat Kelima: Perbanyaklah Do’a
Kiat terakhir yang juga jangan terlupakan adalah
memperbanyak do’a. Karena kita bisa terhindar dari yang haram, tentu saja
dengan pertolongan Allah termasuk dalam masalah riba. Di antara do’a yang bisa
kita panjatkan,
“Allahumma
inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot” (Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai
kemungkaran) (HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Juga perbanyaklah do’a agar bisa terbebas dari utang,
“Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal
maghrom” (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari dosa dan terlilit utang).
Dalam lanjutan hadits tersebut disebutkan bahwa ada seseorang yang bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa beliau banyak
meminta perlindungan dari utang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang
yang terlilit utang biasa akan sering berdusta jika berucap dan ketika berjanji
sering diingkari” (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).
Ya Allah, berikanlah kepada kami sifat qona’ah,
dijauhkan dari yang haram, serta dijauhkan dari riba dan debu-debunya. (*)
==============
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 30 Rabi’ul Awwal 1433 H
www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar